18. Pembohong

2K 293 8
                                    

Terhitung sudah seminggu Raeya tinggal di rumah Eiran. Hari harinya sangat tenang dia banyak bermain dengan wortel kecil, dia makan banyak, dia tidur dengan teratur dan selalu bermalas-malasan sesukanya.

Eiran tidak marah malah membiarkan Raeya bersantai membiarkan pemuda itu istirahat dari lelah yang dia tumpuk selama bertahun-tahun.

Besok Raeya sudah kembali bersekolah tapi dia merasa sedikit takut...

"Raeya? Kau melamun lagi" Eiran mengusap kepala Raeya untuk menyadarkannya.

"Maaf, aku rasa mungkin aku kelelahan bermain dengan wortel"

"Lalu kau ingin melakukan hal apa hari ini? Menanam bunga? Atau membuat kue? Atau ingin jalan jalan dengan wortel?"

"Aku... Sedikit tidak enak badan aku akan istirahat saja dirumah" Kata Raeya pelan.

"Baiklah, besok kau sudah harus kesekolah jadi istirahatlah sebanyak yang kau mau"

Eiran memperhatikan Raeya yang tampak sedikit enggan?

Pemuda itu sudah tidak fokus sejak pagi, Eiran pikir mungkin karena kelelahan tapi sepertinya tidak begitu.

"Sebenarnya Rae, aku ingin sekali pergi ke taman yang baru dibuka itu temani aku ya?"

Lalu disinilah mereka, berjalan santai ditengah keramaian.

"Apa kau takut?" Tanya Eiran

"Aku? Takut? Takut apa?"

"Kenapa kau takut Rae?"

"Aku tidak takut Eiran... Aku tidak apa apa"

"Setelah semua ini kau masih tidak ingin mengatakannya? Apa aku se-tidak bisa dipercaya itu dimatamu?"

Raeya melihat ke arah pemuda itu, dadanya naik turun karena marah juga memalingkan mukanya kemanapun asal tidak ke arah Raeya.

Bukan... Bukannya Raeya tidak percaya hanya saja dia terbiasa menyimpan semuanya sendirian dari sejak lama sekali hingga dia sedikit kesulitan walau hanya sekedar berbicara.

"Kau benar, aku takut. Walau sudah terbiasa dibenci orang lain aku tetap tidak menyukai rasanya, bukannya aku tidak ingin bilang hanya saja lagi lagi aku merasa takut tanpa alasan"

Selain itu hal yang juga Raeya takuti adalah bahwa Eiran ada bersamanya, dia takut pemuda itu akan mendapat kebencian yang sama karenanya, takut kalau nantinya pemuda itu akan muak dan berjalan pergi seperti yang orang lain lakukan.

Raeya tidak munafik, dia tahu perasaan Eiran hanya saja pemikiran negatif dan seringnya diabaikan membuatnya sulit untuk menerima karena enggan menderita.

"Jangan takut, jangan terbiasa dengan kebencian tidak berdasar yang mereka berikan. Ada aku, aku bersamamu Rae"

"Karena kau bersamaku aku jadi semakin takut... Takut semua hal negatif yang ada padaku berimbas padamu Eiran"

"Tapi aku tidak takut, aku tidak takut dengan omong kosong mereka. Kau menceritakan seluruh kejadiannya padaku dan aku masih cukup waras untuk mengetahui yang mana yang bersalah dan tidak bersalah"

"Dan kau percaya? Bagaimana kalau aku hanya membohongimu?"

"Aku percaya, kalaupun kau berbohong aku akan tetap mendukungmu, membuat semua kebohongan itu menjadi fakta dan menyingkirkan orang orang bodoh yang tidak punya otak itu" Perkataan yang kelewat datar itu membuat Raeya sedikit senang. Kapan terakhir kali seseorang mempercayainya? Hal itu adalah seminggu yang lalu... Dan orang itu juga Eiran.

"Aku merasa marah saat mengingat kau harus menanggung semua luka yang mereka sebabkan. Bahkan disaat kau tidak bersalah kau harus menanggungnya sendirian, hak apa yang mereka punya?" Gelisah, marah, keengganan bercampur menjadi satu di binar indah itu. Eiran selalu seperti ini, selalu ada disisi Raeya.

Taman yang ramai itu terasa sangat tenang bagi Raeya, udaranya sangat pas, suasananya terasa indah semuanya sempurna...

Anak kecil yang berlarian, pasangan yang sedang piknik, peliharaan lucu yang terlihat penasaran akan sekitarnya. Raeya tidak pernah memperhatikan semua ini sebelumnya karena takut akan merasa iri dan berbuat jahat seperti yang biasa dia lakukan.

Raeya tidak pernah dicintai hingga pemahamannya mengenai cinta sangat terbelakang dan dangkal sampai Eiran datang... Menawarkan sebuah hal yang sangat asing padanya, perhatian, perlindungan, kepercayaan semua yang dia kejar mati matian diberikan cuma cuma oleh pemuda itu.

Karena sejatinya Raeya hanya perlu diselamatkan dia hanya perlu di peluk dengan erat sampai tertidur nyenyak dia hanya ingin ditenangkan saat marah atau dibujuk saat sedang merajuk. Yang Raeya inginkan hanya hal sekecil itu...

....

"Huhhh, haruskah kita keluar sekarang?" Tanya Raeya sedikit ragu.

"Tidak apa apa, tidak perlu terburu buru kita akan keluar saat kau siap" Perkataan Eiran yang lembut selalu mampu menenangkannya.

Raeya membuka pintu mobil dan keluar dengan perlahan, banyak siswa siswi yang lewat menoleh ke arahnya.

Kakinya mendadak lemas karena perhatian yang dia dapat, ingin rasanya dia kembali masuk ke dalam mobil lalu pulang ke rumah Eiran.

"Jangan takut" Raeya mendongak melihat wajah tampan pemuda yang tengah merangkulnya.

Benar, kali ini dia tidak sendiri jadi tidak ada yang perlu di takutkan.

Semua atensi mengarah pada mereka berdua, Raeya sangat tidak nyaman apalagi mereka tidak menghinanya seperti biasa mereka hanya diam memperhatikannya.

Langkah kaki tergesa gesa dari arah yang berlawanan membuat perasaannya tidak enak, benar saja dapat Raeya lihat Kaiser dan kawan kawannya apalagi Galen yang terfokus padanya.

Apakah mereka ingin mempermalukan nya lagi? Sekarang? Di depan Eiran?

"RAEYA!"

C'est Ma VieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang