Vero mengurung dirinya di kamar selama beberapa hari, pemuda yang awalnya tampan dan memiliki semangat muda kini terlihat kuyu dan tidak bersemangat. Alasannya karena dalam beberapa hari ini keluarganya banyak bertengkar.
Tempat yang dia sebut rumah tidak lagi terasa nyaman seperti biasanya, ayahnya menekannya dan menjelekkan ibunya kapanpun pria itu bisa, adiknya yang biasanya selalu lembut entah mengapa terasa berbeda.
Tesa dan ayahnya melindungi orang asing yang datang kerumah mereka setiap saat dan ibunya semakin menggila karena hal itu.
Vero yang sibuk melamun di bangunkan oleh suara rintik hujan yang lembut, tetes demi tetes air mata langit itu turun membasahi sang bentala yang penuh kehidupan.
Layaknya kehidupan yang girang akan datangnya hujan, Vero jadi teringat Raeya yang selalu riang menari di bawahnya. Dulu Vero pikir itu sangat kekanak-kanakan dan tidak pantas dilakukan, seandainya dia tahu bahwa Raeya hanya ingin melepas penat dari semua hal memuakkan yang memaksa masuk di hidupnya.
Vero sebenarnya tidak tahan dengan udara dingin dia gampang terserang flu dan demam, jadi setiap kali Raeya selesai dengan tarian jeleknya pemuda manis itu akan membawakan selimut tebal yang hangat untuk sang kakak, dia juga akan membuat sup hangat dengan segenap hatinya agar pihak lain merasa nyaman.
Tapi Vero entah mengapa merasa apa yang dilakukan pemuda itu sangat menyebalkan seolah perhatian pemuda itu palsu dan dia hanya berpura-pura.
Mungkin karena bertambah satu lagi hal yang tidak bisa Vero lakukan seperti apa yang dilakukan Raeya membuat pemuda itu kehilangan kesabarannya tanpa sebab.
Jadi Raeya yang selalu peduli akan selalu mendapatkan sindiran dari sang kakak, supnya tidak enak, selimutnya gatal dan tidak nyaman, tariannya kikuk dan jelek tidak lebih bagus dari anak 5 tahun, keluhan terus datang dengan alasan yang tidak masuk akal bahkan sesekali Vero akan menyalahkan Raeya karena memberinya selimut tipis yang membuatnya sakit.
Tanpa sadar pemuda itu jadi terbiasa merendahkan adiknya untuk menenangkan hatinya yang penuh dengan rasa iri...
Sekarang Vero memikirkannya tidak ada yang peduli padanya kecuali Raeya, ayahnya sibuk dengan pekerjaan, ibunya sibuk bersosialisasi dengan teman temannya, dan untuk Tesa, Vero merasa dialah yang harus peduli kepada anak itu. Jadi tidak ada yang peduli padanya kecuali adiknya yang selalu dia lupakan.
Hujan turun semakin deras, udara dinginnya membuat Vero merasa tidak nyaman tapi seberapa lamapun dia menatap ke pintu kamarnya, tidak akan ada lagi seseorang yang masuk sembarangan untuk menanyakan kabarnya, tidak ada selimut tebal dan hangat yang membungkus badannya yang rapuh, juga tidak ada sup yang akan membuatnya merasa nyaman.
Karena orang yang datang bersama kehangatan dan rasa nyaman itu telah dia usir dengan tangannya sendiri...
.....
Disisi lain Raeya sedang memperhatikan jalanan dari depan rumahnya, ternyata hujan turun sangat deras bersamaan dengan angin kencang yang membuatnya menggigil kedinginan.
Eiran belum juga pulang sedari tadi, dan Raeya merasa sangat tidak tenang akan hal itu. Sangat sulit berkendara di cuaca seperti ini jadi dia menunggu Eiran di tengah hujan dengan payung kecilnya.
Di kejauhan Raeya bisa melihat siluet orang yang dia khawatir kan sedari tadi, jadi dengan langkah besar pemuda itu berlari melewati tirai hujan demi menjemput seseorang yang sudah basah kuyup.
"Kenapa kau berjalan" Kata Raeya sedikit berteriak.
"Ranting pohon yang jatuh menutupi jalan, mobilnya aku titip pada satpam dan aku lupa membawa payung, maaf cemilannya jadi basah" Eiran menunjukkan tas belanjaan yang sedikit basah walau sudah dia masukkan ke jaketnya.
"Eiran bodoh harusnya kau melindungi kepalamu bukannya belanjaan bodoh ini" Keluhnya dengan pelan.
"Kenapa kau keluar? Anginnya sangat kencang dan hujan turun semakin deras, kau bahkan tidak menggunakan jaket kau bisa demam nantinya" Eiran menatap pemuda di depannya dengan sedikit keluhan di matanya.
Eiran memeluk pemuda itu, membawa tubuh mereka menempel satu sama lain, payung kecil yang tidak berguna itu juga diambil alih oleh Eiran.
Raeya kembali memperhatikan rupa menawan pemuda itu, jelas jelas baju yang dia pakai basah kuyup tapi Raeya merasa hangat.
"Aku menunggumu" Bisiknya di telinga Eiran.
Dua insan itu bertemu pandang, bahkan di tengah hujan mereka tidak terganggu sama sekali.
Faktanya tidak ada gunanya Raeya menunggu dengan payung kecilnya karena mereka berdua tidak terhindar dari derasnya hujan malah Raeya hanya menambah satu orang lagi yang keadaannya basah kuyup.
Raeya bisa menunggu Eiran dengan tenang di dalam rumah tapi daripada sofa yang hangat Raeya lebih memilih hujan hujanan bersama Eiran.
"Maaf membuatmu menunggu lama, aku pulang Raeya"
Perasaan menunggu dan menjemput orang yang ditunggu sungguh sangat memuaskan.
Dan perasaan ditunggu oleh orang yang kita sayang juga sama memuaskannya.
Harus diakui hal yang paling membahagiakan di dunia ini adalah mencintai seseorang yang mencintaimu sama besarnya.
Raeya yang baru merasakan sedikit sudah dibuat ketagihan oleh kehangatan yang datang beriringan.
KAMU SEDANG MEMBACA
C'est Ma Vie
Fanfictionsekuat apapun Raeya berusaha yang didapatinya hanyalah lelah di penghujung jalan. tidak ada yang datang, tidak ada yang pergi, tidak ada satupun yang peduli pada sosok yang kejam sepertinya. harusnya dia sadar diri, harusnya Raeya tidak sok berani...