Galen mempercepat langkah kakinya mencari pemuda yang paling ingin dia temui tapi tidak bisa menemukannya, tempat terakhir yang dia periksa adalah taman belakang sekolahnya yang penuh dengan mawar liar tempat dimana Raeya selalu berada.
Raeya duduk sendirian di bangku taman tidak ada Eiran yang membuat Galen sedikit bingung karena pemuda itu selalu menempeli Raeya.
"Apa kau hanya akan berdiri seperti orang bodoh?" Suara halus itu menyapa telinganya, Raeya meliriknya sebentar lalu kembali memperhatikan bunga mawar liar yang tidak berharga.
"Ku dengar kau mencariku? Ada apa?"
"Ak..aku aku mau minta maaf" Jawabnya sambil menunduk.
"Dimaafkan" Segampang itu?
Galen mengangkat kepalanya cepat, dia merasa kebingungan kenapa Raeya mau memaafkannya?
"Maaf... Hari itu aku tidak bisa datang, aku mencoba kabur tapi jatuh dan tertangkap. Walaupun terlambat tapi aku akan memberikan jawabanku, 'tidak' aku tidak punya kekuatan untuk menyukaimu"
"Aku tahu" Jawaban yang ingin dia dengar akhirnya terjawab, ternyata Raeya masih berusaha untuk menemuinya walau gagal.
"Apakah Tesa tahu?" Galen merasa tenggorokan nya sangat kering saat mengatakan itu seolah dia masih tidak mampu percaya dengan kebenaran yang harus dia hadapi.
"Kapan dia tidak tahu? Dia selalu tahu"
Kenapa Raeya memaafkan Galen? Jawabannya karena dia selalu merasa kebencian Galen adalah kesalah pahaman termasuk juga kesalah pahaman karena kebodohan sendiri.
Taman belakang adalah tempat yang akan selalu Raeya datangi dan tempat yang juga Galen sering datangi untuk melihat Raeya, walau sebenci apapun dia kepada pemuda itu Galen selalu memperhatikan nya diam diam.
Tapi apa gunanya perhatian tanpa perlindungan? Semuannya hanya omong kosong.
"Mawar itu seperti apa dimatamu?" Tanya Raeya tiba tiba.
"Cantik, berduri, dan Tesa alergi padanya"
"Apa kau tahu aku sangat menyukai mawar?"
"Aku tidak tahu, maaf..."
"Dulu saat masih kecil ada taman bunga mawar di halaman rumahku yang khusus untukku karena aku sangat mencintai bunga itu. Hari ketiga Tesa tinggal di rumah ku dia tersesat dan sampai ke taman itu, ada darah yang keluar dari mulutnya, badannya pucat dia berkeringat dingin dan sesak nafas"
"Keesokan paginya saat tirai kamarku dibuka, warna merah yang selalu kulihat habis tak bersisa hanya tertinggal beberapa helai daun di tanah yang kosong itu"
"Kenapa mereka mencabutnya begitu saja?" Tanya Galen.
"Aku juga bertanya kenapa, tapi yang paling ingin ku pertanyakan adalah kenapa mereka tidak bertanya? Itu adalah tamanku, bunga mawarku jadi kenapa mereka tidak bertanya pendapatku?"
Raeya tidak masalah, bahkan jika mereka mencabutnya dengan tergesa-gesa Raeya tidak marah.
Mawar merah yang indah itu memang harus di cabut karena berbahaya dan Raeya mengerti hal itu tapi kenapa tidak meminta izinnya?
Seolah olah mereka tidak peduli dengan perasaannya.
Mulai hari itu Raeya tidak pernah membuka gorden jendela yang mengarah ke taman karena hatinya sakit tiap kali mengingat betapa tidak pentingnya kesukaannya.
Sama seperti Galen yang mengatakan dia menyukainya tapi masih abai dengan apa yang dia suka, karena semua orang di dekatnya sibuk mencari kekurangan yang dia punya bukannya mencari cara terbaik untuk mencintainya.
Kecuali satu orang...
....
"Kenapa lama sekali? Dia tidak memarahimu lagi kan?" Eiran datang dengan tergesa setelah melihat punggung Galen menghilang.
"Kau kan melihatnya dari awal, tentu saja dia tidak melakukan apapun"
Raeya melihat ke arah Eiran sekali lagi entah kenapa dia jadi sering memandangi wajah orang ini.
"Aku tidak kemana mana Raeya, kau bisa melihatku kapan pun kau mau"
Raeya hanya takut, takut kalau Eiran juga ikut pergi dia takut dia akan ditinggalkan dengan rasa candu dari pelukan hangat orang itu jadi Raeya melihatnya dengan rakus berusaha untuk merekam semua sudut wajah pemuda itu.
"Aku tadi mendengar sesuatu tentang mawar? Kalian membahas apa?" Tanya Eiran.
"Aku bertanya seperti apa mawar dimatanya"
"Lalu bagaimana denganmu? Seperti apa mawar dimatamu Rae?"
"Bagiku, mawar adalah tanah kosong dibawah jendela ku. Tanah kosong yang harusnya tidak pernah aku relakan kosong, tanah kosong yang harusnya sangat indah, tanah kosong yang harusnya jadi tempat favoritku"
Setiap kali memikirkan mawar hal pertama yang selalu Raeya ingat adalah perasaan tidak rela yang selalu hinggap dihatinya.
Setiap kali memikirkan mawar yang dia pikirkan adalah kapan tumbuhan ini akan dicabut? Sama seperti miliknya yang dia tidak pernah tahu kapan dicabutnya.
Setiap kali memikirkan mawar dia akan mengingat apakah ada orang yang membenci, alergi, atau punya ingatan buruk tentang mawar karena tidak ingin di cap tidak peduli pada mereka.
Mawar selalu membawanya kembali pada hari itu, pada gorden yang terbuka lebar, tangan yang terlalu kaku untuk bergerak, dan mata yang menatap kosong ke bawah jendela kamar tidurnya.
"Yahh rugi sekali tanah kosong itu tidak bisa lagi dilihat olehmu tiap pagi"
"EIRAN! AKU SEDANG SEDIH TAHU!"
"ahaha habisnya kau semakin lucu saat serius"
"Ck menjengkelkan, bagimana denganmu? Mawar itu dimatamu bagaimana?"
"Hmm, dimataku mawar adalah kau"
"Aku? Kenapa aku?"
"Bukankah kalian terlihat mirip? Indah dan menawan, disukai banyak orang. Tapi banyak orang mendekatimu dengan ceroboh dan terluka oleh duri yang kau gunakan sebagai perlindungan diri, merekalah yang tidak hati hati tapi yang disalahkan adalah kau yang hanya mencoba melindungi diri dari banyaknya orang aneh.
Tapi aku berbeda, aku tidak takut dengan durimu aku tidak akan melukaimu dan kau bisa mencoba untuk tidak melukaiku. Maaf kalau kedengarannya seolah aku mempromosikan diriku sendiri tapi aku ini tipe pria yang serius dalam ucapan"
"Seberapa serius?"
"Cukup serius untuk menanam ribuan bunga mawar di bawah jendela kamarmu agar kau bisa melupakan tanah kosong yang sebelumnya"
KAMU SEDANG MEMBACA
C'est Ma Vie
أدب الهواةsekuat apapun Raeya berusaha yang didapatinya hanyalah lelah di penghujung jalan. tidak ada yang datang, tidak ada yang pergi, tidak ada satupun yang peduli pada sosok yang kejam sepertinya. harusnya dia sadar diri, harusnya Raeya tidak sok berani...