19. Maaf?

2.2K 351 16
                                    

"RAEYA!" teriak Galen dari jauh.

"Apa kau senang mempermainkan semua orang? Kau senang sekali menjadi korban ya?" Ejek Galen.

"Rae, kau tahu kau selalu bisa bercerita kepadaku kenapa kau tetap diam" Kaiser dan omong kosongnya membuat Raeya semakin bingung.

"Kalian mau apa?" Eiran maju selangkah di depan Raeya, mencoba melindungi pemuda itu dari orang orang tidak masuk akal di depannya.

"Jangan pura pura tidak tahu, kita semua tahu Raeya itu seperti apa. Orang sepertinya pasti tidak akan menolong orang lain" Sinis Galen.

"Galen benar, bisa jadi vidio itu akal akalan Raeya orang sepertinya mana bisa dipercaya?" Sambung leon.

"Apa otak kalian semua sudah tidak berfungsi? Vidio itu jelas dan sangat jernih memperlihatkan Raeya yang bukannya membully tapi menyelamatkan siswa lain! Dia lari karena ingin memanggil perawat yang berjaga di UKS karena terbilang cukup dekat, jika tidak ada Raeya anak itu mungkin saja sesak nafas sampai mati dan kalian malah menyalahkannya? Kalian semua bodoh atau tidak punya otak?! Mata kalian semua buta? Ayo pergi Raeya tidak ada gunanya berbicara dengan sampah yang tidak punya otak seperti mereka!"

"TIDAK KAU TIDAK BISA PERGI!" Galen menarik tangan Raeya cukup kasar hingga sang empunya meringis.

"Kau harus menjelaskan semuanya dari awal kalau tidak-"

"Kalau tidak apa? Kalau tidak apa Galen? Atas dasar apa aku harus menjelaskan nya padamu? Hanya karena kau merasa dibohongi? Kau hanya membenciku tanpa alasan kan?

HAK APA YANG KAU PUNYA UNTUK MEMARAHIKU HAH?! Bahkan jika aku harus menjelaskan sesuatu haruslah kepada siswa yang aku tolong kan? Kenapa aku harus menjelaskannya padamu?"

"Aku tahu kalau kalian hanya mencari alasan saja untuk memarahiku di depan umum lalu mempermalukan ku. Hanya karena kau pikir aku salah bukan berarti aku salah Galen...
Memang aku orang yang egois, serakah, aku seorang penjahat, penipu, pembohong, seseorang yang pasti akan disalahkan atas semua hal kecil dan besar yang terjadi pikirmu aku seperti itu kan?"

Semua siswa tidak ada yang berani bersuara bahkan mereka memelankan nafas mereka takut mengganggu pemuda yang tengah meluapkan amarahnya.

"Dan apa katamu tadi Kai? Cerita padamu? Dari sekian banyak hal yang aku ceritakan pernahkah kau percaya? Tidak bukan? Kau tidak pernah percaya satupun perkataanku. Apa yang aku lakukan sampai pantas untuk dibenci?"

"Bukannya aku tidak mau percaya Raeya tapi perkataanmu selalu hanya alasan biasa tidak pernah ada bukti di dalamnya, jika saja kau orang yang jujur seperti Tesa aku pasti akan percaya" Kaiser berkata dengan lembut tapi perkataannya membuat Raeya semakin marah.

"Kaiser benar, kenapa kau tidak bisa jujur seperti Tesa? Kau hanya mengatakan omong kosong bagaimana mungkin kami akan percaya apalagi orang seperti mu punya banyak trik" Galen menatap pemuda itu dengan penuh ejekan.

"Kalian akan tetap mempercayai Tesa bahkan tanpa bukti kan? Kalian tidak mempercayaiku karena aku bukan Tesa, aku bukan Tesa kalian yang baik hati, lembut, sopan, jujur, dan sempurna. Kalian tidak mempercayaiku karena aku hanya aku... Hanya Raeya yang tidak penting.

Tapi apakah kalian lupa? Aku yang tidak penting ini adalah orang yang menyelamatkan pujaan hati kalian itu beberapa waktu yang lalu, aku yang egois inilah yang melompat ke derasnya arus sungai demi permata kalian, aku yang pembohong inilah yang rela mempertaruhkan nyawanya hanya demi mengantarkan pangeran kalian ke tepian.

Lalu dimana kalian? Kalian berdiri di pinggiran sungai karena terlalu pengecut, kalian hanya berdiri menonton karena terlalu takut melakukan hal yang aku lakukan, sekarang kalian masih dengan tidak tahu malunya membandingkanku dengan seseorang yang bisa saja mati kalau bukan karena aku?"

"Kalian semua harus ingat, akulah yang memberikan kesempatan hidup bagi kesayangan kalian itu tapi kalian malah kecewa karena aku bangun dari koma terlalu cepat? Kalian lebih menjijikan dan egois bukan? Aku bersyukur aku bukan pengecut seperti kalian"

Raeya sangat marah sampai hatinya terasa kacau, kepada siapa dia harus meminta tanggung jawab atas lukanya?, pada siapa dia harus melampiaskan kegundahan hatinya? Kepada siapa dia harus bertanya dan berkeluh kesah tentang takdirnya?

Pagi ini pertama kalinya mereka melihat pemuda itu menangis, dia berjongkok memeluk erat tubuhnya sendiri dengan bahu yang gemetar, isak tangis terdengar sayup sayup dari arahnya.

Pemuda itu tampak sangat kesakitan juga menyedihkan disaat yang bersamaan dia menerima banyak sekali fitnah dan harus menanggung kesalahan yang dituduhkan kepadanya, dia tidak bersuara tapi jiwanya terus berteriak meminta pertolongan.

Siapa yang bisa menolongnya?

Siapa yang mau menolongnya?

Sekali lagi saat dia tengah kebingungan sebuah pelukan hangat menghampiri nya lebih hangat dari selimut tebal yang biasa dia pakai, lebih hangat dari perapian saat musim dingin datang.

Saat dia pikir dia sendirian mata itu menatapnya dengan lembut tanpa penghakiman atau tuduhan yang biasanya dia dapatkan.

"Tolong aku Eiran, rasanya sangat tidak nyaman..." Suara Raeya yang terdengar sangat lemah menyakiti Eiran.

"Maaf... Maaf karena tidak lebih cepat menemanimu, maaf karena tidak bisa melindungimu, maaf karena datang terlambat, maaf karena memaksamu datang hari ini harusnya aku tidak melakukannya harusnya aku tidak memaksamu, maaf... Aku minta maaf Raeya jangan menangis, jangan putus asa seperti ini... Aku benar benar tidak tahan melihatnya" bisik Eiran pelan.

Maaf? Raeya selalu ingin mendengarnya...

Raeya ingin mendengar maaf dari ibunya yang menelantarkan nya, ingin maaf dari kakanya yang melupakan, ingin maaf dari ayahnya yang penuh kebohongan, ingin maaf dari Kaiser yang tidak menepati janjinya, ingin maaf dari Galen dan Leon yang terus terusan menuduhnya, ingin maaf dari setiap orang yang pernah berbicara buruk padanya, Raeya ingin sebuah permintaan maaf yang khusus untuknya, dia menunggu dan terus menunggu tapi tidak satupun dari mereka berniat untuk membuka mulut.

Bahkan saat dia terbukti benar dan merekalah yang salah sangka permintaan maaf yang paling dia nanti nantikan tetap enggan menghampirinya.

Tapi pemuda yang merangkulnya dengan ringan membuatnya mendengar perkataan yang selalu dia damba.

Pada Eiran, Raeya tidak perlu berusaha mati matian dan takut tidak dihargai, Raeya tidak perlu mengatakan apa yang dia mau karena pemuda itu bisa tahu dengan sendirinya, Raeya juga tidak perlu takut sendirian karena pemuda itu akan memeluknya dan menenangkannya.

Bagi Raeya, Eiran adalah satu-satunya orang yang mau berjalan bersisian dengan dia yang penuh debu dan bukannya membelakangi nya dengan punggung dingin yang biasa dia lihat.

Eiran adalah cahayanya...

Cahaya yang membantunya berjalan di jalan gelap yang mereka paksa untuk dia lewati.

Eiran adalah pegangannya...

Satu satunya pegangan yang dia punya agar tidak jatuh dan hilang arah.

Permohonan paling tulus, Raeya sampaikan pada garis takdir.

Tolong... Jangan ambil Eiran darinya


C'est Ma VieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang