Bab 5

15.8K 1.7K 92
                                    

Hai!!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hai!!

Seberapa kangen kalian sama cerita inii?? Boleh kasih ombaknya yang baaanyaak gakk? 🌊🌊🌊

Happy Reading!

***

Aku tak pernah mengharapkan pernikahan seperti princess disney yang begitu mewah. Ugh tidak. Realitasku yang sibuk membuatku paham bahwa hal seperti itu tak pernah mampir di hidupku. Maksudku begini, Hampir separuh hariku kuhabiskan di rumah sakit atau kadang di lab bersama profesorku, lalu bagaimana aku punya banyak waktu untuk memikirkan tetek bengek pernikahan dan resepsi berjam-jam itu?

Apalagi sekarang aku menikah tak didasari cinta. Wah, hidupku sudah seperti sinetron bukan?

"Kamu ingin pesta pernikahan seperti apa?" tanya Kama saat kami selesai makan siang.

Kami hanya punya satu jam untuk makan siang dan membahas persiapan pernikahan. Oh lamaran? Eum... sepertinya Kama tak memikirkan hal itu. Baginya terlalu lama karena biasanya, setelah lamaran kita akan menunggu beberapa bulan untuk pernikahan.

Tapi aku akui caranya meyakinkan bapakku harus diacungi jempol. Empat jempol kalau bisa.

"Saya gak ada bayangan sih dok. Prioritas saya yang penting saya bisa pergi S2."

Kama mengangguk. Sepertinya dia juga punya prioritas yang sama denganku juga kan?

"Tempat pernikahan mungkin? Indoor atau outdoor?" tanyanya lagi.

Aku mengerjapkan mata singkat, jujur aku tak tahu. Dulu memang sempat merancang pernikahan idaman, namun lama kelamaan pikiran itu memudar.

"Eum... menurut dokter gimana?" tanyaku balik.

"Saya ikut kamu," balasnya singkat.

"Saya gak tahu dok. Saya juga mana aja yang penting nikah-maksud saya yang penting saya bisa ke Australia," balasku sedikit gagap. Aku tak bermaksud mementingkan pernikahannya, yang dipentingkan adalah bagaimana aku bisa lanjut master.

Kama menghela napas. "Oke. Apa indoor saja? Menghindari hal-hal tak diinginkan seperti hujan, mungkin?"

Aku mengangguk patuh. Ya itu saran yang bagus. Memang Kama tak diragukan lagi soal logika. "Boleh dok."

"Satu lagi. Jangan panggil saya dengan sebutan dokter. Kamu bukan pasien saya dan yang terpenting... saya sebentar lagi akan jadi suami kamu."

Aku meneguk ludahku kesusahan karena kaget dengan ucapannya. Memang beberapa kali aku mendengar Kama melarangku memanggilnya dengan sebutan itu, aku sendiri bingung harus memanggilnya dengan apa.

"Terus saya... panggil apa?" tanyaku lirih.

"Terserah."

Sekuat tenaga aku menahan rasa kesal dalam diriku yang lama-kelamaan memuncak dengan sikap lempengnya Kama. Ugh! Bisa gak jawabnya gak singkat singkat gitu? Terserah kamu lah, ngikut kamu lah.

A Reason to be With You [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang