Hai!! Apa kabar?
Gimana libur lebarannya? Apakah udah pada balik ngerantau lagi? Atau ada yang gak mudik?
Semoga Kama-Aruna bisa menemani libur lebaran kamu yang sebentar lagi bakal abis ini yaaa.
Yang kerja semangat cari cuannya! Yang sekolah semangat belajarnya! Siapapun yang mengerjakan sesuatu selain itu, semangat mengusahakannya. Apapun yang kamu lakukan sekarang udah selangkah lebih baik dari pada gak ngapa-ngapain.
***
Aku tersenyum ragu. Aku yakin selama aku hidup, satu-satunya senyum yang terlihat kaku dan tak enak dilihat adalah senyumku saat ini. Bisa dibilang sebenarnya banyak yang menyukaiku dulu. Mantanku, jangan ditanya kayaknya tiap semester ganti. Apalagi kalau urusan memanfaatkan kakak kelas untuk ujian, itu sih keahlianku.
Tapi semua luntur saat aku mulai bekerja di IGD. Penampilanku tak ubahnya seperti upik abu yang bekerja terus tanpa henti. Aku cuma bisa meringis. Haha, pacar? Entah sejak kapan skill itu hilang dari pesonaku.
Jadi ketika biasanya senyumku terlatih untuk menggaet pria-pria, sekarang menarik sudut bibir saja rasanya berat. Apalagi ditambah harus tersenyum di depan calon mertua veteran keluarga dokter.
"Sehat Na? Saya panggilnya Aruna kan ya?" ucap tante Natalie dengan sopan.
"Iya tante. Panggilannya Aruna atau Na biasanya kalau di rumah," balasku berusaha menyamai senyumnya yang teduh.
"Emang kalau gak di rumah apa?"
"Dok, kalau di rumah sakit. Hehe," kataku mencoba humble. Namun sepertinya tak ada yang menganggap bahwa ini gurauan. Semua menatapku diam.
Sadar Aruna! Lebih baik tutup mulut.
"Kerja di rumah sakit mana? Ambil spesialis apa?" tanya wanita yang sedikit tua dadi muka tante Nat.
"Masih dokter umum tante, di IGD Mitra Sehat."
"Loh kamu ini umur berapa to? Kok masih di IGD?"
Aku membuka sedikit mulutku. "Aumm... dua puluh delapan, tante."
"Lho ya wong udah dua delapan gitu kok masih di IGD. Males mikir lagi apa gimana."
Crap! Ini salah satu hal yang jadi momok. Indonesia memang kekurangan dokter spesialis, namun bukan hanya karena malas semata namun pengaruh dari banyak hal. Biaya terutama. Gak semua itu terlahir dari keluarga berada yang banyak duit untuk biayain spesialis.
"Dia mau S2 tan."
Bukan aku yang menjawabnya, tapi seseorang yang berada tepat di sampingku. Aku menoleh ke arah Kama. Memasang wajah tegas dengan rahang yang terpahat sempurna.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Reason to be With You [TAMAT]
ChickLit"Dokter Kama. Dokter benar dapat fellowship ke Australia?" tanyaku tanpa basa-basi. Ugh aku sebaiknya bertanya ia dari mana bukan? Namun otakku mengatakan 'jelas-jelas dia baru saja jajan!' Pria itu mengangguk. Tentu tak akan mau capek-capek mengelu...