Bab 14

13.7K 1.7K 372
                                    

Seperti janjiku malam ini aku kasih bonus karena beneran gak suabaarrr sama part ini! AAAAAAA

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seperti janjiku malam ini aku kasih bonus karena beneran gak suabaarrr sama part ini! AAAAAAA

Tapi sebelum itu boleh donggg minta ombaknya lagi yang banyaak. Biar Kamaruna bisa nangkring di tagar2 wattpad teratas dan jadi banyak yang kenal. 🌊🌊🌊

Bacanya pelan-pelan ya. Jangan buru-buru.

Happy Reading!!!

***

Malam itu menjadi salah satu malam terpanjang yang pernah aku rasakan. Selepas Kama mendekapku dengan kehangatannya, Kama menuntunku kembali duduk di kursi ruang tamu. Ia lagi-lagi tak mengatakan apapun. Ia hanya menemaniku dengan segelas teh jahe hangat yang ia buat untukku.

Aku menghargai bagaimana cara Kama tak mengusikku dengan pertanyaan yang aku sebenarnya malu untuk menjawabnya. Aku tak yakin apakah Kama tahu apa yang aku rasakan, ketika kata yang keluar dari mulutnya saat melihatku menangis adalah sebuah kata untuk mengapresiasi kerjaku.

Kama duduk dihadapanku dengan balutan kemeja putih. Kain di kedua tangannya ia gulung sampai siku, memunculkan jalur-jalur pembuluh vena yang sedikit lebih menonjol. Astaga apa mataku akan mengkategorikannya sebagai lengan yang seksi pula? Tidak Aruna, itu hal yang sangat biasa dalam anatomi manusia. Aku sudah mempelajari hal ini seumur hidupku, tidak mungkin aku mengaguminya kan?

Oke. Aku tak bisa mendebat bahwa penampilan Kama saat ini... eum ya menarik dan sempurna. Meskipun sudah malam dan sedikit berantakan namun Kama terlihat tampan seperti biasa—kecuali bekas basah yang melingkari hampir seluruh dadanya.

Oh tidak. Apa itu perbuatanku?

"Maaf mas," kataku lirih menatap penampilannya yang ternodai karena ingus dan air mataku. Aku menunduk sambil menatap dadanya penuh penyesalan. Aku tak mengira kalau tangisanku akan sekacau itu.

"Udah lebih tenang?" tanyanya yang tak menyenggol penyataanku sama sekali.

"Mas. Saya... sorry banget. Mas jadi basah dan lengket. Saya ambilkan baju ya." Kakiku segera melesat pergi ke kamarnya, mencari kaos putih yang biasa ia gunakan.

"Na. Gak usah gak apa-apa," kata Kama menolak kaos putih di hadapannya.

Aku menatapnya gemas. "Saya yang apa-apa. Pasti mas gak nyaman banget ya tadi meluk—eum bukan maksud saya nenangin saya. Air mata dan ingus saya pasti bikin mas risih."

"Gak Na. Saya gak merasa risih sama sekali," bantahnya yang tentu saja bohong. Mana mungkin ia nyaman dengan baju basah seperti itu.

"Ini mas ganti aja deh. Oh atau mas mandi sekalian juga gak apa-apa. Maaf ya baru aja pulang saya malah saya nangis kayak bayi."

Kama terkekeh namun tak bergerak mengambil bajunya. Tangan pria itu malah terulur menyentuh ujung mataku yang ternyata masih menyisakan air mata.

Sialan. Gerakan tiba-tiba Kama membuat perutku serasa merosot sampai ke kaki.

A Reason to be With You [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang