Halo! Apa kabarr?
Aku kangen dikasih ombak yang banyak sama kalian. Boleh minta ombaknya gak? 🌊🌊🌊
Siapp ikut melting sama Kamaruna? LESGOOO!!
***
Kama tak melepaskan genggaman tangannya. Apalagi ketika kami berlarian menuju halte mengejar bus yang hampir saja terlewat. Kalau bisa direkam, mungkin kami seperti adegan yang di film-film india. Ugh, sedikit lebay tapi memang seperti itu adanya. Apalagi ditambah gerimis kecil saat kami hampir tiba di halte.
Kama menatapku seraya tangannya mengusap pundakku seperti menyingkirkan rintik air yang tersisa. "Capek?" tanyanya.
Napasnya terdengar normal sangat berbeda sepertiku yang tersengal-sengal. Apa dia terbiasa berolahraga sehingga berlari sejauh tadi tak masalah baginya? Aku hampir ingin menyerah kalau saja genggaman Kama tak mengikatku dengan erat.
"Hm." Aku tak mampu lagi menjawab dengan kata-kata. Rasanya sangat melegakan ketika kakiku menginjak lantai bus, seolah baru saja melewati garis finish.
Kama terkekeh. "Kamu kayak orang kehabisan napas Na. Minum dulu Na," ucapnya lantas memberiku sebotol air putih. Berjalan 13000 langkah gak menjamin aku bisa kuat berlari seperti tadi.
"Cap...capheek," keluhku seraya mengipas-ngipas tangan di depan wajahku. "Duh panas banget."
Kama entah akan merencanakan apa namun ia membuka tas ranselnya dan mengeluarkan lembaran kertas, lebih tepatnya jurnal. Lebih mencengangkan lagi jurnal itu ia kibas-kibaskan ke arahku.
Tanganku membeku di udara. Mataku menatapnya tanpa berkedip. Apa yang sedang ia lakukan?
"Gimana? Udah lumayan dingin?"
Hawa dingin memang menerpa kulitku, terutama leherku yang sejak tadi penuh akan keringat. Rasanya menyegarkan memang, tapi aku masih terpaku dengan apa yang pria di depanku.
"Na? Gimana?" tanyanya lagi mengembalikan kesadaranku.
"Hah? Oh. Dingin. Dingin kok. Wah, segar banget. Saya gak pernah ngerasain udara sesager ini. Kayak mandi air dingin saking segarnya," ucapku tak benar-benar menyadari setiap kata yang kulontarkan.
Kama menatapku bingung dengan alis yang saling bertaut. "Hm? Kamu kedinginan?"
Aku membelalakkan mata lantas menggeleng cepat. "Enggak," kataku sambil meneguk ludahku, mengalihkan pandangan darinya. Instingku mengatakan kalau aku terus menatapnya maka akan berbahaya untuk hatiku.
"Lama-lama bakal dingin kena AC busnya Na," bisiknya di balik ceruk leherku.
Sialnya apa yang aku rasakan sekarang berkebalikan dengan apa yang baru saja ia katakan. Aku seperti kepiting rebus yang baru saja matang, panas, berkeringat, dan pipiku berubah semakin merah tatkala gerakan tubuhnya semakin merapat ke arahku. Orang-orang berdesakan di sekitar kami padahal waktu sudah cukup malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Reason to be With You [TAMAT]
ChickLit"Dokter Kama. Dokter benar dapat fellowship ke Australia?" tanyaku tanpa basa-basi. Ugh aku sebaiknya bertanya ia dari mana bukan? Namun otakku mengatakan 'jelas-jelas dia baru saja jajan!' Pria itu mengangguk. Tentu tak akan mau capek-capek mengelu...