Sixteen

104 11 5
                                        

Eleanor menepuk-nepuk pipi Rhea.

Keringat bercucuran deras di pelipis gadis itu. Eleanor sejak tadi mengikuti Rhea, karena energi sihir dalam gadis itu sungguh kuat. Namun ternyata dengan mengikuti Rhea, ia melihat sihir api dan es yang sangat kuat.

Es dan api yang Rhea ciptakan untuk membuat danau sangat kuat! Ini melebihi kekuatan sihir yang pernah Eleanor lihat.

Mungkinkah Rhea pingsan karena kelelahan?

Manik coklat Eleanor bergerak gelisah.

Mencoba mencari pertolongan di tempat sepi seperti ini. Apa yang harus ia lakukan?

Eleanor mengguncangkan tubuh Rhea. Nafas Rhea tiba tiba tidak ada!

Eleanor menempatkan kepalanya di depan dada Rhea mencari denyut jantung gadis itu.

Namun ujung jari mendorong pelan kepala Eleanor didepan dada Rhea.

"Gila lo?" Rhea bangkit dari tidurnya dan duduk sembari menepuk bajunya.

Mata Eleanor membelalak sempurna. "Kau baik-baik saja? Aku tidak mendengar denyut jantungmu. Mengapa kau pingsan? Apa kau mati suri? Mengapa tiba-tiba denyut jantungmu berhenti? Apa kau kelelahan? Atau jangan-jangan kau adalah arwah!!" Eleanor melayangkan pertanyaannya.

Rhea mengangkat sebelah alisnya.

"Lumayan jika aku bisa mendapatkan es krim coklat, entahlah, mungkin, tidak, entahlah, tidak, tidak. " Rhea memutar matanya.

"Hah?" Eleanor memiringkan kepalanya.

"Jawaban pertanyaan mu tuan putri" Rhea mendengus kecil.

Hembusan angin meniupkan helaian rambut keduanya. Rambut coklat dan hitam melambai-lambai terkena hembusan angin.

Suasana hening menyelimuti.

Eleanor mendudukkan dirinya disebelah rhea dan menyenderkan punggungnya di bawah pohon.

Keduanya hanya diam tenggelam didalam pemikirannya masing-masing.

"Apa yang terjadi?" Rhea menutup matanya menikmati hembusan angin. "Dimana aku tadi? Sesungguhnya apa yang terjadi?"

Rhea menghela nafasnya.

Eleanor menatap wajah Rhea lekat - lekat. "Kau mempunyai sihir apa saja?"

Pandangan mata Rhea terpaku oleh gadis itu. Putri Kerajaan Selatan, rambut coklatnya bersinar terpantul cahaya matahari, manik coklatnya mengkilat penuh ambisi, wajah tenangnya tidak cocok untuk kepribadiannya yang banyak bertanya.

"Bukan urusanmu"

"Aku bisa memiliki sihir angin, namun sepertinya itu tidak berguna untuk memperbaiki kondisi kerajaanku, aku berharap kau bisa membantuku. Apa kau memiliki sihir tumbuhan?" Eleanor mengabaikan respon Rhea yang dingin.

Rhea diam.

"Ayolah, jawablah pertanyaanku. Apa mulutmu hanya pajangan? Kerajaan ini seperti bukan kerajaan Rhea, kami hidup didalam penderitaan dan kemiskinan. Sumber air yang kau ciptakan, pohon yang pulih membuat setidaknya ada cadangan air untuk terus bertahan hidup. Mungkin bagimu ini adalah hal yang sepele, namun bagi kami ini adalah anugrah terindah dan sangat berarti" tatapan mata Eleanor memburam.

Kesiur angin hanya mengisi kekosongan keduanya.

"Ah" Eleanor mengusap matanya "aku jadi cengeng akan hal ini. Jika kau berkenan tolonglah bantu kami." Eleanor bangkit dari duduknya dan menepuk nepuk jubahnya.

Sinar cahaya menutupi pandangan Rhea. Sosok Eleanor yang rapuh berdiri di hadapannya. Rhea mendongakkan kepalanya.

"Dan jika kau memerlukan teman berjalan ajak lah aku. Aku akan datang." Eleanor tersenyum manis dan berjalan menjauh.

Sosoknya menghilang diantara semak-semak yang mengering.

"Ck, kayaknya aku sudah benar benar gila" decak Rhea menggelengkan kepalanya mencoba waras.

"Teman perjalanan apaan? Paling ia hanya akan menjadi beban"

Namun, Rhea tidak tau apa yang akan menantinya. Bahaya yang akan merenggut nyawanya.

Atau mungkin pertolongan yang ia butuhkan untuk menyelamatkan dunia.

•••
"Hoam" Rhea menguap lebar.

Sepertinya gadis itu memiliki masalah tentang ke-ngantukan yang ia miliki. Atau sindrom rindu dengan kasurnya.

Mata Rhea menyapu pemandangan didepannya.

Apa yang ia lihat saat bersama Vieer, bukanlah apa-apa bagi yang ia lihat.

Rumah-rumah penduduk hening dan sepi. Ranting-ranting kayu yang berjatuhan di tanah yang tandus. Udara kering menusuk tajam hidungnya. Pakaian penduduk sangat kucel dan kotor, wajah mereka seperti mayat hidup. Tengkorak dan tulang-tulangnya menonjol tanpa daging.

Benar-benar seperti mayat.

"Apa kau tau? Di dekat taman ada danau yang berisi air bersih!! Bahkan pohon mangga didekatnya tumbuh dengan subur!" Bisik pelan wanita kurus dengan temannya.

"Apa itu benar? Darimana kau mendengarnya? Mungkin saja itu hanyalah kebohongan" sangkal wanita pendek disebelahnya.

"Stt! Jangan keras keras! Anakku melihat danau itu! Jadi aku segera mengambil ember untuk membawa air. Ayolah, sebelum kita kehabisan air!" Wanita kurus itu menarik temannya dengan cepat

"Sebutuh itukah mereka?" Gumam Rhea pelan.

Rhea pernah merasakannya. Namun bukan krisis seperti ini. Hanya krisis ekonomi yang membuatnya harus menahan lapar selama empat hari dan hanya minum. Rhea perlahan-lahan sadar. Bahwa ada yang lebih membutuhkan daripada dirinya. Dulu ia merasa sangat tersakiti. Tanpa sadar ada yang lebih tersakiti.

Rhea membuka tapak tangannya "kekuatan ini adalah anugrah bukan? Apa anugrah ini harus aku bagikan kepada yang lain?" Rhea mengepalkan tangannya dan menarik tudungnya.

Debu, air, batu dan udara.

Empat elemen dalam tanah.

Keempat elemen yang menciptakan dunia paralel. Dengan sisi yang berbeda beda.

Satu hal yang sama.

Keserakahan manusialah yang membuat kekacauan.

Apa yang dilakukan Rhea adalah pilihan yang benar? Menciptakan lingkungan nyaman bagi Kerajaan Selatan. Akankah mereka tetap menjaga keharmonisan dan harmoni dunia pararel?

•••

Hai hai ~~

Aku come back!!! Ada yang kangen gak?? Gaada kayaknya :(

Maaf ya aku udah lama ga up, soalnya lupa dan bingung ges mau nulis apaan wkwkw.

So, biar aku ga lupa up dan semangat jangan lupa vote and komen!! Xixixixi

Pelukan hangattt

-Ra-

༼⁠ ⁠つ⁠ ⁠◕⁠‿⁠◕⁠ ⁠༽⁠つ

Dark Knight : RheaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang