Sedari tadi pikiran Liam benar-benar tidak tenang, nama Aluna terus berputar di kepalanya membuat Liam frustasi. Ingin langsung menyusul Aluna saat gadis itu meninggalkan kafe, namun ketujuh cowok itu menahan Liam.
Setelah selesai sarapan dan menjelaskan inti permasalahannya kepada mereka, kini Liam memutuskan menghampiri kamar Aluna seorang diri. Sementara cowok yang lain, menunggu seraya memperhatikan ke arah kamar Aluna dari balik kaca jendela kafe.
Di depan kamar Aluna, Liam berdiam diri memandang pintu itu penuh harap. Sejujurnya, ia merasa aneh dengan situasi ini. Untuk pertama kalinya, Aluna marah dengan Liam. Di situasi ini, Liam yakin tidak mudah untuk membujuk Aluna. Namun, Liam akan terus berusaha mendapatkan maaf gadis itu.
Liam mencoba mengetuk pintu kamar Aluna, berharap Aluna mau menemuinya. Ya, semoga saja.
"Aluna ...."
"Bang Liam mau bicara, bisa buka pintunya?"
Hening, Aluna ada di dalam, namun ia tidak merespon panggilan Liam. Mengapa rasanya sakit sekali?
"Luna, dengerin penjelasan abang dulu ya, tolong buka pintunya ...," ucap Liam terdengar memohon.
"Aluna, abang tau abang salah, Bang Liam mau minta maaf."
Liam terus mengetuk pintu kamar Aluna. Namun, Aluna tetap teguh dengan pendiriannya. Liam tidak menyangka kesalahannya membuat mereka menjadi asing.
"Abang gak bermaksud bikin kamu kecewa, buka dulu pintunya, Luna ...."
Masih dengan posisi sebelumnya, Aluna mendengarkan semuanya dari balik pintu. Hatinya ingin menemui Liam, namun rasanya masih berat untuk memaafkan kesalahan Liam. Katakanlah Aluna egois karena mendiamkan Liam. Aluna hanya masih butuh waktu untuk mencerna semuanya.
Liam memejamkan matanya menahan rasa sesak di dadanya. "Aluna, jangan hukum Bang Liam kayak gini ...."
Air mata yang sudah mengering di pipinya, kembali turun dari kelopak mata gadis itu setelah berusaha ia tahan.
Masih tidak ada jawaban dari dalam. Kepala Liam tertunduk menatap lantai. Terlihat jelas dari matanya, ada rasa kecewa, sedih dan juga marah. Rasanya Liam ingin melampiaskan emosinya yang masih tertahan karena kedua cowok yang menghina Aluna tadi.
Liam tidak ingin seperti ini, ia membenci keadaan ini. Apa kesalahan Liam terlalu fatal? Liam ingin meminta maaf dan memperbaiki keadaan, namun Aluna tidak ingin menemui Liam. Sekecewa itu kah Aluna dengan Liam?
Liam memilih duduk di depan pintu kamar Aluna, memeluk erat kedua lututnya. Liam memandang kosong pada bekas arang di rumput. Kemarin adalah hari yang menyenangkan bagi mereka. Namun, hari ini terasa berbeda, tidak ada kebahagiaan untuk hari ini.
Liam tidak menyangka keadaannya berubah begitu cepat. Canda tawa yang mereka ciptakan, berganti dengan kesedihan hanya dalam waktu semalam saja.
Liam menatap lama pada tempat ia dan Aluna duduk semalam.
Flashback on
Liam menyusul Aluna yang baru saja menyelesaikan panggilan video call dengan papanya. Ia memilih duduk di sebelah gadis itu.
"Habis video call sama papa?"
"Iya, Bang," jawab Aluna.
Liam hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Papa aneh banget, Bang. Masa dia cuman nanyain Bang Liam, abang yang lain gak ditanyain, gak adil banget." Aluna bercerita membuat Liam memperhatikannya seraya memikirkan sesuatu.
"Emang papa ngomong apa?"
"Kata papa 'Liam mana? Dia happy gak? Arahin kameranya ke Liam, papa kangen sama dia' gitu kata papa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Seraphic Home | XODIAC
Teen FictionTentang delapan anak laki-laki yang mempunyai luka dan trauma karena keluarga. Berusaha menerima takdir yang sama sekali tidak mereka inginkan. Di sebuah panti asuhan, mereka dipertemukan untuk saling menguatkan, bersama-sama menyembuhkan luka dan m...