"Semua orang boleh berekspektasi, tapi harus siap dengan rasa kecewa yang mungkin terjadi. Manusia punya rencana, tapi Tuhan punya takdir."
Liam Regaksa AlexisLiam menarik masuk kedua kopernya lalu memilih duduk di ruang tamu. Tidak ada yang ia lakukan selain terdiam memandang sekeliling rumah dengan tatapan kosong. Matanya memerah mengingat bahwa dua tahun ke depan ia akan menjalani hari tanpa Papanya dan Aluna didekatnya.
Sejujurnya Liam tidak bisa tinggal di rumah ini, rumah ini hanya akan membuat Liam merasakan kesedihan setiap harinya. Keputusan sahabat-sahabatnya bukanlah keputusan yang salah. Ketujuh orang itu pasti sudah memikirkan konsekuensi itu sebelumnya. Mereka tidak akan membiarkan Liam sendiri di rumah yang meninggalkan luka yang membekas di hatinya hingga saat ini.
Malam ini Dirga memutuskan menemui Aluna ke kamarnya. Dirga merasa bertanggung jawab atas keadaan anak-anaknya saat ini. Ia juga sudah berjanji akan menyelesaikan masalah mereka hari ini juga.
Saat di kantor, Dirga merasa tidak fokus dengan perkerjaannya. Ada beberapa hal yang mengganggu pikirannya. Saat Liam pergi pun Dirga belum berada di rumah. Namun, tadi pagi Liam sudah pamit kepadanya.
Dirga memperhatikan wajah Aluna lekat, sangat jelas bahwa ada kesedihan di balik mata indah itu.
"Aluna, papa udah tau kamu sama Liam lagi ada masalah. Liam gak bermaksud ngecewain kamu," Dirga menghela nafas berat, ia memejamkan mata saat perkataan-perkataan yang merendahkan Aluna terlintas di kepalanya. "Liam emosi karena kamu direndahkan."
"Iya, Pa. Aluna udah pikirin baik-baik, Aluna salah karena udah ngehindarin Bang Liam," ucap Aluna penuh penyesalan.
"Kamu udah maafin Liam?"
Aluna menggeleng pelan dengan tatapan kosong. "Aluna yang harusnya minta maaf sama Bang Liam."
Dirga mengangguk kecil seraya tersenyum mendengar pengakuan Aluna. "Papa tau kamu ingin bersikap adil, tapi, jangan sampai sikap kamu menyakiti orang yang ingin melindungi kamu hanya karena kamu ingin menjaga hati yang lain."
Aluna diam memperhatikan papanya, ia mendengarkan semua yang dikatakan papanya dengan rasa bersalah. Teringat bagaimana Liam bersusah payah membujuknya, namun Aluna selalu mengabaikannya. Bahkan, abangnya yang lain ikut jadi sasaran kekecewaan Aluna.
"Willco memang benci hari ulang tahunnya, tapi kamu harus tau, dia gak peduli terhadap apapun yang terjadi di hari itu. Menurut kamu, Liam memberikan kesan buruk di hari ulang tahun Willco, tapi bagi Willco, hal itu gak berpengaruh di hidupnya," lanjut Dirga.
"Maafin Aluna, Pa. Aluna benar-benar gak bisa berfikir panjang saat itu hanya karena ekspektasi Aluna sendiri."
"Iya, Sayang. Papa harap, setelah ini hal seperti ini gak terjadi lagi. Kamu harus belajar dari kesalahan."
Aluna mengangguk mengerti. "Iya, Pa, Aluna gak akan ulangin kesalahan yang sama."
Suasana hening beberapa saat. Dirga memperhatikan Aluna yang terlihat murung. Aluna tengah bersedih, Dirga paham bagaimana perasaan Aluna saat ini.
Dirga menggenggam tangan Aluna, bermaksud memberikan kekuatan untuk gadis itu.
"Liam udah pulang ke rumahnya, besok abang kamu yang lain bakal nyusul," Dirga menjeda ucapannya, ia memperhatikan ekspresi Aluna yang seperti ingin menangis, "kamu ikhlasin mereka ya? Tungguin mereka kembali, nanti kita kumpul lagi sama-sama dengan versi yang lebih baik."
Aluna menundukkan kepalanya. Hatinya kembali sakit menerima kenyataan itu.
"Aluna gak bisa, Pa ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Seraphic Home | XODIAC
Teen FictionTentang delapan anak laki-laki yang mempunyai luka dan trauma karena keluarga. Berusaha menerima takdir yang sama sekali tidak mereka inginkan. Di sebuah panti asuhan, mereka dipertemukan untuk saling menguatkan, bersama-sama menyembuhkan luka dan m...