10; Tanda (?)

223 20 0
                                    

"Katanya cowok boleh nangis, tapi nggak boleh cerita."
——————————

    Buntu, senyap, serba salah dan salah tingkah. Juna tidak bisa lari, ia tak berkutik—mata Rhuto yang tajam dan sengit menyorot pada tubuhnya, Juna malu, tentu saja. Musuhnya ini mengetahui apa yang sudah lama disembunyikan—Juna berharap semoga Rhuto berbalik dan pulang, tapi harapan itu palsu, tidak segampang apa dipikirkannya. Rhuto menarik kakinya, langkah itu lambat laun menuju puncak, ibaratnya Juna berada di lereng gunung yang tak tumbuh pepohonan, panas dan gersang—tubuhnya banjir keringat lantaran malu akan apa yang terjadi. Dan, kaki Rhuto tepat berhenti di hadapan Juna, kedua mata itu menatap sungkan terlebih lagi jika Rhuto menemukan Juna dalam keadaan pekik udara.

  Kedua netra Rhuto bergerak liar memperhatikan wajah Juna, gertakan rasa empati yang merobohkan pikiran Rhuto menjadi pemicu saraf motoriknya merespons baik. Rhuto, benar-benar menangkup wajah Juna dengan wajah memerah pertanda marah—tapi, atas dasar apa dirinya marah, Rhuto bahkan tidak bisa menemukan alibi itu. Perih, itu pasti menyakitkan, itulah yang justru jadi buncahan emosi.

  Juna diam tak berkutik, luka robek pada bibir bawah membuat Juna bisu mendadak. Rhuto menyentuh plester luka yang ditempel Mak Zuhri dengan jari telunjuk yang gemeter, plester itu terbuka—dan lukanya kembali berdarah. Mata Juna yang bengkak pun menjadi pusat perhatian Rhuto, ia justru tidak tahu harus berkata apa—sadis, prihatin. Juna merawat luka batin dengan baik hingga tak tercium penderitaannya, tapi kali ini Rhuto telah menemukan luka itu. Juna diam memegang tutup pisau yang di genggamnya, seolah menyembunyikan hal tersebut dari Rhuto.

  Tapi mata Rhuto tak bisa dibohongi, meski Juna mencengangkan genggaman itu. Rhuto tetap dapat merebutnya, kepala Juna tertekuk saat Rhuto memegang erat tutup pisau buah tersebut. Lagi, Rhuto mencoba bergerak, matanya liar dengan langkah besar—mencari apa gerangan yang dilempar Mbok Bunar tadi, meski cukup lama, Rhuto menemukan hal tersebut. Pisau itu berlumuran darah kental yang mana sisi atasnya menyisakan darah setengah kering, Rhuto menatap Juna dengan saksama, ia pun melangkah pasti hingga berdiri di hadapan Juna.

  Terbilang cukup kasar saat Rhuto menggeladah telapak tangan Ajuna, lagi dan lagi Rhuto mendapatkan gumpalan tisu yang masih basah akan darah. Rhuto mundur beberapa langkah, ditemukannya kedua kaki itu terluka, Rhuto beralih ke arah Juna. Rhuto membuang napas—tidak tahu harus bagaiamana, Rhuto bingung dengan semua tingkah dan bahkan apa yang terjadi pada Juna. Jadilah, Rhuto berdiri dungu dengan telapak tangan kanan yang menutupi separuh wajahnya.

  Pada saat itulah, Rhuto terkejut bukan main. Ajuna Daniarta, memeluk tubuhnya, Rhuto hendak mendorong namun hal itu urung—Rhuto menatap kosong ke arah atmosfer yang gersang, azan Ashar pun berkumandang, seolah sumbang. Yang menjadi pengisi kedua rungu Rhuto hanyalah tangisan pelan Ajun. Lelaki musuhnya ini menangis dalam pelukan, tiba-tiba. Rhuto meletakkan tangan kanannya di bahu kiri Juna, melingkari punggung anak itu.

"Kenapa lo self injury?" rasanya tidak bisa ditahan untuk tak berucap, Rhuto melamun dalam tangisan Ajun.

   Tidak ada respons apa pun dari Juna selain menumpahkan air matanya, Rhuto tidak cukup tahu bahwa Juna terpuruk seperti sekarang, sepersekian menit lamanya—pelukan Juna lerai dengan sisa air mata. Anak itu melangkah seperti tidak terjadi apa-apa, Juna menghidupkan keran air yang ada di samping pintu—ia mencuci kakinya yang berdarah dengan amat tenang. Rhuto bingung, ia tak memahami bagaimana dan seperti apa tabiat Juna. Karena, mereka bukan terbilang sebagai teman.

Usai mencuci kaki, Juna memasang kembali kaos kaki panjang itu, kemudian bersuara tanpa melihat ke arah Rhuto. "Hidup itu kejam, seandainya hidup bisa milih, gue pengen jadi lo, Bujang."

  Bujang diam, ia tidak langsung menyahut apa yang dikatakan Juma. Tidak seperti kebiasaannya, yang langsung menyahut, apa lagi jika sudah berkomunikasi sengit dengan Juna tapi kali ini, ia tidak tahu cara meladeni Juna. Terlepas dari apa yang sudah ia saksikan tadi, Juna berbalik, duduk kembali di kursi aluminum itu, dengan kedua kaki diselonjorkan—menahan perih luka sayatan itu.

HELLO JUNA! | HARUKYU REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang