Sakit. Seluruh tubuhku seolah diremuk oleh tangan raksasa. Aku tidak sanggup menggerakkan barang telunjuk sekalipun. Napasku perlahan melambat. Pandanganku kabur dan yang sanggup kusaksikan hanyalah siluet, orang-orang yang berlalu lalang mencoba menyelamatkanku. Aku tidak yakin sanggup bertahan ... perutku.
Darah mengalir dari robekan, tikaman, mahakarya penjahat yang seharusnya menghunuskan pisau kepada Erlina. Betapa kurang ajar Erlina menjadikanku tameng, mendorongku, tepat ke hadapan ujung tajam senjata itu.
Kini aku tergeletak tidak berdaya, terombang-ambing antara sadar dan bimbang. Suhu tubuh kian mendingin, membuatku kehilangan daya.
Barangkali aku pejamkan mata saja. Seluruh tubuh terasa berat, semakin berat, dan kedua mataku tidak mampu terjaga.
Lelap.
... dalam gelap.
***
Itulah yang kuingat. Seharusnya aku tewas, jadi korban pembunuhan. Tepatnya, korban salah tusuk. Target utama si penyerang bukan aku, melainkan orang lain: Luna, manusia yang kuyakini sebagai teman baik.
Aku siap menerima penghakiman atas semua kesalahan yang kuperbuat. Tidak ada perlawanan sama sekali. Biarkan palu keadilan menghantamku hingga remuk tidak berbentuk. Lagi pula, semua telah terjadi. Tidak ada yang bisa kuperbuat sekalipun ingin memohon ampun.
Ya, begitulah yang kukira akan terjadi kepadaku.
Akan tetapi, begitu aku membuka mata tiada api panas menjilat tubuh. Benda pertama yang kulihat ialah, langit-langit. Ada jamur di sudut, warnanya gelap akibat terkena rembesan air hujan. Tanpa perlu kesulitan, aku tahu tempat ini. Kamarku. Ruang yang seharusnya lebih cocok disebut sebagai gudang daripada kamar seorang manusia.
Kutegakkan tubuh, bersiap menyambut keanehan seperti yang dialami oleh lelaki bernama Ebenezer Scrooge. Aku tidak siap menemui tiga hantu, roh, apa pun yang akan memperlihatkan masa lalu, kini, dan masa depan. Ranjang yang kududuki terasa keras. Memang keras karena kapuk di dalamnya telah mengempis dan hanya memberikan sedikit kenyamanan kepada si pengguna.
Sedetik, dua detik, sekian detik. Tidak ada siapa pun.
Aku sendirian.
Apakah aku akan tiba-tiba diseret ke mulut neraka setelah bernostalgia dengan masa laluku?
Entahlah. Aku tidak tahu.
Semua hal yang ada di kamar masih sama seperti yang terakhir kali kuingat. Sama menyesakkan. Sama menyedihkan. Hanya ada kesia-siaan yang melekat di setiap incinya.
Jendela dengan engsel berkarat. Beberapa keropos bisa terlihat jelas akibat bahan kayu yang tidak bagus, jenis yang mudah digerogoti oleh rayap maupun semut. Hanya ada satu jendela bercat kuning pudar. Jenis yang akan mengingatkanku pada film horor era 80-an.
Lantai berkeramik warna putih. Permukaannya kotor oleh noda hitam dan di beberapa bagian ada keramik yang rusak, pecah seperti diinjak oleh kaki kerbau. Noda cokelat yang tidak bisa hilang hanya dengan dilap saja muncul di sebagian keramik.
Meja belajar yang ditumpuki buku dan sebuah ransel butut. Tidak ada yang bisa menebak warna asli ransel sebelum jatuh ke tanganku. Benda itu kudapat dari hasil pemberian. Ada lubang kecil di bagian atas ransel.
Satu lemari yang pintunya tidak bisa ditutup rapat. Isi di dalamnya hanya pakaian lusuh dan seragam. Semua benda yang ada di dalam sana pun hasil pemberian. Bukan milikku. Tidak ada benda baru selain alat tulis.
Dari sekian kenangan yang bisa saja kulihat, ternyata ingatan ini yang justru tampil pertama kali. Anehnya, aku tidak merasa sakit hati. Lebih ke hampa. Kosong. Barangkali inilah yang dirasakan seseorang ketika dihadapkan dengan luka lama. Jenis luka menyakitkan yang telah diakrabi secara mendalam hingga ketika luka itu membuka, hanya ada sensasi dingin. Kosong.
KAMU SEDANG MEMBACA
(NOT) REVENGE (Tamat)
RomanceAku telah mengalami sakitnya pengkhianatan. Orang yang kupercaya sebagai sahabat justru menusukku dari belakang, menghancurkan kepercayaanku, serta membuatku sadar bahwa betapa naif dan dungu pemahamanku perihal manusia. Sekalipun ingin balas dendam...