Butuh perjuangan memisahkan Nia dan Bastian. Mereka tidak peduli situasi, tempat, maupun kondisi. Saling serang. Adu mulut tiada habis. Aku yakin mereka berdua barangkali dilahirkan sebagai musuh bagi satu sama lain. Setelah memohon, dengan susah payah, kepada Nia agar dia menemani Biru ... akhirnya aku bisa berdua saja dengan Bastian.
Kupilihkan meja terjauh dari Nia dan Biru, berharap tidak ada pertengkaran lanjutan. Bastian tidak memesan makanan. Dia memilih segelas teh hangat dan kuduga ada banyak hal yang ingin ia sampaikan.
“Kamu tahu, Embun?”
“Nggak,” jawabku jujur.
“Aku belum selesai bicara....”
Duduk di sini, di tengah kerumunan, membuatku seolah menjadi sorotan. Kostum siluman ular lokal yang kukenakan ini terlalu mengundang dan aku tidak ingin menarik perhatian siapa pun. Tidak sekarang, pikirku.
“Embun,” panggil Bastian dengan suara lembut, “sebenarnya Papa pengin ngomong langsung ke kamu, tapi nggak bisa.”
“Mau minta maaf karena nggak bisa datang? Sama seperti Zeus yang mendadak rapat?”
“Bukan, tapi Papa ingin kamu dan aku sekolah di luar negeri,” lanjutnya dengan nada semangat. Dia menyentuh gelas teh yang mengepulkan asap, sama sekali tidak tertarik mencicipi cairan tersebut. “Menurutku itu ide bagus. Sempurna. Jepang, Embun. Coba kamu bayangkan negeri empat musim yang indah itu. Kamu bisa belajar apa pun di sana, bersamaku.”
“Apa dugaanku benar?” aku mulai melontarkan tuduhan. “Bahwa sebenarnya kamu sendiri yang ingin kuliah di sana? Nggak ada hubungan sama sekali dengan kemampuan dan minatku?”
Bastian mendadak bungkam. Dia celingukan persis anak kecil ketahuan memecahkan vas mahal.
“Aku nggak masalah sekolah di negeri asing,” kataku menyambut ide tersebut. “Namun, bukan Jepang.”
“Di sana ada Kamen Rider, Ultraman, Gundam, bahkan Godzilla!”
Niat Bastian saja tidak baik. Aku tidak tertarik menyenangkan Bastian. “Paris, London, atau Beijing. Pilih salah satu dari ketiga kota yang kusebut. Selain itu, aku tidak tertarik.”
“Tokyo seru, Embun,” Bastian berusaha membujuk. “Kamu bisa belajar jadi desainer, mangaka, atau pembuat wagashi. Ada banyak hal menyenangkan di sana.”
“Kamu hanya ingin nonton Kamen Rider,” serangku, telak. “Khusus minat, aku tidak tertarik menghabiskan masa remaja di sana. Oh ya, aku hanya ingin sekolah SMA di luar. Khusus kuliah, di sini tidak masalah.”
Aku sengaja memilih sekolah di sana. Entah perubahan rencana sekolah ini dikarenakan Papa atau hal lain, aku tidak peduli. Lagi pula, tidak ada salahnya mengasah kemampuanku di sana selama beberapa tahun. Tiga tahun. Cukup bagiku menajamkan taring.
“Kenapa kamu ingin kuliah di sini, sih?”
“Karena kuliah di luar pasti mahal,” ucapku memberi penjelasan. “Nggak ingin nambah beban pengeluaran.”
“Embun, kamu sekolah tiga tahun di Inggris, lalu kuliah di Cina pun Papa sanggup mencukupi semua biaya hidupmu di sana. Jangan remehkan kemampuan finansial Kusuma.”
Kalau begitu.... “Oke, London dan Paris. Dua kota itu pasti sangat bagus bagiku.”
“Tokyo?”
“Aku lebih suka ke sana sebagai wisatawan daripada pelajar.”
Jangan paksa aku belajar bahasa asing yang menuliskan kalimatnya saja terdiri dari sekian huruf dan ragam bentuk. Mana mungkin aku kuat? Kudengar belajar kanji sangat sulit. Lalu, sebelum belajar kanji pasti harus belajar aksara lain terlebih dahulu. Lupakan saja. Aku lebih suka huruf yang sudah kukenali saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
(NOT) REVENGE (Tamat)
RomanceAku telah mengalami sakitnya pengkhianatan. Orang yang kupercaya sebagai sahabat justru menusukku dari belakang, menghancurkan kepercayaanku, serta membuatku sadar bahwa betapa naif dan dungu pemahamanku perihal manusia. Sekalipun ingin balas dendam...