Bukan hal yang mengejutkan saat tahu bahwa Eva datang bertamu. Bila tengah menginginkan sesuatu, dia akan menempuh segala jalan dan melakukan cara apa pun. Tujuan, itulah yang utama.
Eva duduk di seberang meja. Dia mengenakan gaun santai bermotif bunga biru. Senyum masih terpulas rapi di bibir yang diwarnai oleh gincu merah delima. Bisa saja orang salah mengira Eva baru saja menyerang dan menggigit seseorang, mengisap habis darah dari tubuh.
Seharusnya saat ini aku bertanya, “Bagaimana caramu tahu alamatku?” Namun, itu pertanyaan sia-sia. Sudah kubilang, ‘kan, bahwa saat menginginkan sesuatu maka Eva akan melakukan apa pun. Jadi, mengetahui alamatku bukanlah perkara sulit. Sangat mudah. Sama seperti membalikkan telapak tangan.
“Embun, semoga kamu nggak sedang sibuk, ya.”
Tanganku menggenggam cangkir teh. Uap mengepul, hawa hangat masih terasa dalam genggaman tanganku. “Mengesankan,” pujiku dengan nada getir, “kamu bisa tahu alamatku sampai sejauh ini.”
Alis Eva pun menaut, membuat kening berkerut. “Embun, ada sesuatu yang ingin kusampaikan.”
“Semoga bukan hal buruk, ya?”
“Nggak kok. Aku cuma pengin kamu tolong aku mengenai model untuk Beladona. Bukankah kakakmu, keduanya, berperan penting dalam Beladona. Jadi, kalau bisa tolong jadikan aku sebagai model Beladona.”
Aku tidak langsung membalas. Kusesap teh yang terasa manis, menikmati wangi lemon yang menguar di udara.
Masih sama seperti dulu, pikirku. Eva akan berusaha meniti tangga kesuksesan yang ia pilih walau caranya tidak benar.
“Eva, kamu cantik dan menawan. Nggak harus jadi model Beladona, ‘kan?”
“Kita, kan, teman baik. Apa kamu nggak berminat menjadikanku sebagai bagian dari Beladona? Nggak akan rugi kok memasukkanku sebagai salah satu model Beladona.”
Kuletakkan cangkir di meja. Kemarahan dalam diriku tidak lagi mendidih dan membara. Sekalipun masih tersisa sedikit pijar api di dalam hati, tapi aku masih sanggup mengendalikan diri.
Inilah saatnya. Aku sekarang bisa menyaksikan Eva memohon kepadaku.
Dulu pasti kukabulkan segala permintaan Eva, yang konyol sekalipun. Tidak pernah memikirkan mengenai diriku sendiri dan hanya mengutamakan kebutuhan Eva. Alih-alih penerimaan, justru caci dan maki yang kuperoleh dari Eva. Apa begitu sikap seorang teman? Menjatuhkan harga diri? Merendahkan martabat sampai ke dasar?
Jangan konyol.
“Lalu?”
Eva mencengkeram gaunnya hingga buku-buku jari memutih. “Kamu pasti pengin aku senang, ‘kan? Ingat, nggak? Aku pernah mengundangmu ke pesta ulang tahun. Itu artinya aku menganggapmu sebagai teman.”
“Aku ucapkan terima kasih atas penghargaan teman baik darimu. Namun, menjadi model Beladona nggak semudah dugaanmu,” serangku seperti seekor ular yang menjerat tikus. “Diva pun nggak lolos audisi. Apa kamu pikir bisa mengalahkan prestasi selebriti sekelas Diva?”
Begitu nama Diva disebut, air muka Eva pun berubah keruh. “Jelas beda. Dia nggak sepertiku. Aku temanmu, Embun.”
“Teman,” kataku mengulang ucapan Eva. Apa arti persahabatan di mata Eva? Tidak ada. “Aku hanya mengenalmu selama beberapa minggu. Kita bahkan nggak terlalu akrab. Aku cuma sebatas tahu dirimu selama itu. Nggak lebih.”
“Ayolah,” bujuk Eva dengan nada suara semanis madu, “aku sama baiknya dengan Nia. Kenapa kamu pelit begitu?”
Aku menggelengkan kepala, pelan. Ujung bibirku naik, membentuk seulas senyum sinis. “Kamu bisa mencari tahu tokoh penting di balik Beladona. Sehebat itu. Apa nggak sebaiknya kamu memanfaatkan waktu dengan benar? Berlatih akting? Atau, kamu bisa alihkan energimu dengan cara mengunjungi ahli terapi. Kupikir kamu membutuhkannya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
(NOT) REVENGE (Tamat)
RomanceAku telah mengalami sakitnya pengkhianatan. Orang yang kupercaya sebagai sahabat justru menusukku dari belakang, menghancurkan kepercayaanku, serta membuatku sadar bahwa betapa naif dan dungu pemahamanku perihal manusia. Sekalipun ingin balas dendam...