“Karena aku berbaik hati membantumu, maka kamu wajib menyenangakan diriku!”
Permintaan Nia sama sekali tidak ada hubungannya dengan balas budi. Lebih baik aku menemani Nia belanja sepatu daripada harus mengamini keinginannya yakni, semobil. Saat kubilang bahwa aku berniat langsung pulang, dia justru ngotot menawari bantuan berupa tumpangan gratis. Aku tidak keberatan bila yang ia maksud semobil ialah, dirinya sendiri yang bertugas sebagai sopir. Namun, beda cerita bila....
“Ayo dong, Embun,” pinta Nia dengan nada manja. “Kamu duduk di depan, aku duduk di belakang.”
Kakiku mematung. Tidak mau bergerak mengikuti keinginanku.
Di hadapanku berdirilah Biru, kakak Nia. Setelah sekian tahun tidak jumpa, dia terlihat makin menarik. Masih sama seperti ingatanku di masa lalu. Ibaratnya, dia matang. Sempurna. Dia mengenakan kemeja lengan pendek warna gelap, celana jins, dan sepatu tali. Tampilan bersahaja yang jusrtu semakin menguatkan kesan maskulin dalam diri lelaki itu.
‘Gawat,’ kataku dalam hati, ‘Biru memang berbahaya,’
Aku sering melihat potret Biru terpampang di majalah bisnis maupun gosip. Semua orang pasti tahu bahwa Biru Lin merupakan salah satu kandidat suami impian para wanita. Dia memiliki semua yang seorang wanita harapkan ada pada pasangannya. Finansial, oke. Visual, jangan tanya lagi. Karakter, jentelmen sejati berdasarkan pengakuan beberapa oknum. Keluarga, sangat berpengaruh. Kudengar dia punya bisnis di Taiwan dan Jepang.
Pantas saja Diva berusaha keras mendapatkan Biru. Pasti menyenangkan menjadi ratu. Sukses dalam karier dan berpasangan dengan pria mapan. Itulah yang Diva incar.
“Kenapa melamun, sih?”
Suara Nia berhasil mengusirku dari zona lamunan menuju realitas.
Aku membatu. Tidak bisa menggerakkan seujung jari pun. Bagaimana bisa aku berlagak wajar bila diperhatikan Biru dengan cara yang cukup membuatku ingin kabur? Maksudku, senyum yang ia tampilkan. Caranya membuatku merasa kerdil sekaligus segan. Benar-benar membingungkan.
“Ayolah,” bujuk Nia tidak peduli dengan kegelisahan yang menjalari hatiku, “kakakku sedang libur dan bebas tugas. Dia tidak keberatan jadi sopir dan aku memang berencana melayanimu seharian ini. Jadi, kamu ingin langsung pulang atau kita mampir ke suatu tempat? Karaoke? Joget di klub sampai pusing? Sebutkan, Embun. Biarkan kakakku yang melayanimu dengan sepenuh hati.”
“Mengapa rasanya abangmu terdengar seperti seorang host di klub tengah malam?” tegurku berusaha menyadarkan Nia dari ilusi sinting yang bersarang di benaknya. “Aku pikir ... ya, naik taksi nggak terlalu buruk. Aku bisa pesan....”
“Jangan begitu,” kali ini Biru menyela. “Aku bakal berpikir kamu nggak suka dengan keberadaanku. Lagi pula, aku memang berencana menjemput Nia. Jadi, kamu nggak perlu sungkan.”
Mati aku! “Baiklah....”
Nia langsung melenggang dan masuk ke mobil. Dia memilih jok belakang, sementara diriku langsung mendapatkan perengutan ketika hendak duduk di belakang bersamanya.
“Depan dong,” protes Nia seolah aku baru saja melakukan kesalahan. “Aku, kan, mau tidur. Capek. Nggak ada ruang bagi dua orang. Lebih baik kamu duduk di depan, ya? Hitung-hitung menemani abangku agar fokus menyetir.”
Alasan gila macam apa itu?
Tentu saja aku yang paling gila. Patuh mengikuti kemauan Nia. Duduk di depan, di samping Biru, dan rasanya ingin kujambak rambutku karena kehilangan kendali atas pilihan. Sungguh bodoh.
Biru langsung menjalankan mobil setelah mengetahui alamat rumahku. Di sepanjang jalan yang ramai oleh kendaraan berisik, Nia menyarankan agar menyalakan radio. Entah pertanda atau sekadar kebetulan. Lagu yang terlantun justru membuatku berpikir tidak baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
(NOT) REVENGE (Tamat)
RomanceAku telah mengalami sakitnya pengkhianatan. Orang yang kupercaya sebagai sahabat justru menusukku dari belakang, menghancurkan kepercayaanku, serta membuatku sadar bahwa betapa naif dan dungu pemahamanku perihal manusia. Sekalipun ingin balas dendam...