Malam itu Papa memanggilku. Di ruang kerja, tempat yang sering ia pilih untuk menyepi dan menghabiskan waktu di rumah. Barangkali semenjak kepergian Mama, dia jadi semakin tenggelam dalam kesibukan. Cara yang sering dipakai orang yang ingin melarikan diri dari sesuatu.
Aku mengenakan piama warna merah muda dengan gambar kartun kelinci putih. Dulu, saat bersama keluarga Tante Rasmi, pastilah tampak konyol memakai baju dengan warna menyala. Secara kulitku pucat cenderung kusam. Tidak jarang orang bertanya, “Apa kamu sudah mandi?” Padahal aku berusaha membersihkan diri sebaik mungkin, tapi kulit kurang nutrisi tidak bisa membuatku kelihatan cantik. Berbeda dengan sekarang. Aku makan teratur, mengonsumsi sayuran segar, dan tidur tepat waktu. Tidak perlu menunggu Puspasari kenyang. Tidak harus mencuci piring orang lain. Benar-benar bebas.
Papa pun memakai baju santai. Hanya saja dia masih terlihat cukup lelah, dari sorot matanya, dan hanya tersenyum ketika melihatku datang. “Papa dengar dari Bastian kamu tertarik membuat perhiasan.”
Aku duduk di kursi yang kosong. “Sekadar hobi.”
Papa mengangguk. “Kusuma punya bisnis di area yang kamu minati,” jelasnya sembari mengambil beberapa lembar kertas dari meja. Setelah kuperhatikan dengan cermat, ternyata itu merupakan kertas berisi sketsa perhiasan buatanku. “Papa suka dengan kreativitasmu. Kalau kamu berminat, Papa bersedia membantu pemasaran produkmu. Tentu saja dengan beberapa perubahan pada bahan. Papa ingin kamu bermain lebih jauh.”
“Papa ingin menjual perhiasan buatanku?” Terus terang ini cukup mengejutkan. Setahuku Bastian jarang tertarik dengan diriku. Sekarang dia berani mengambil desainku dan menyerahkannya kepada Papa. Lalu, keputusan Papa mengajakku terjun ke bisnis milik Kusuma.... “Apa Papa nggak takut rugi berinvestasi ke orang yang salah?”
“Tentu saja Papa nggak langsung mengamini ide kakakkmu, Bastian.” Papa mengetuk meja dengan telunjuk, gerakannya pelan dan berirama. “Papa sudah berkonsultasi dengan orang yang tepat. Nggak ada salahnya melatihmu berbisnis, ‘kan?”
Aku tidak akan mau berpura-pura sungkan. Di mana ada kesempatan, di situlah harus disambut dengan tangan terbuka. “Oke.”
Setelahnya aku keluar dari ruangan Papa. Di koridor aku berpapasan dengan Zeus. Kuduga dia baru pulang dari kantor karena masih mengenakan kemeja yang dua kancing teratas telah dilepas. Dasi pun ia longgarkan dan jas hitam ia sampirkan di lengan. Pemandangan yang cukup seksi bagi teman sekelasku.
“Kamu belum tidur, Embun?” tanyanya sembari berderap cepat mendekatiku. “Jangan tiru kebiasaan buruk Bastian. Dia sering begadang. Kamu nggak ingin mengalami penuaan dini gara-gara kurang istirahat, ‘kan?”
Aku meraih tangan Zeus, menunjuk jam tangan. “Sembilan malam,” kataku. “Belum saatnya tidur.”
Zeus mengacak-acak rambutku tampa izin. “Anak kecil cepat tidur sana. Besok kamu harus sekolah dan bukankah ada banyak kegiatan yang perlu kamu selesaikan? Seingatku sekolahmu mengadakan pentas seni dan pekan raya demi menyambut ulang tahun sekolah?”
Susah payah kutepis tangan Zeus. Dia bahkan tidak mau repot berpura-pura menyesal telah menggangguku. “Kelasku nggak terlalu bersemangat menyambut pentas seni maupun hiburan.”
Bohong. Sesungguhnya Nia memelopori anak-anak agar mengadakan kafe unik. Itu dia lakukan demi mengalahkan kelas Eva maupun Nao. Siapa pun yang berhasil memperoleh uang paling banyak, kepala sekolah berjanji akan menghadiahi kelas tersebut dengan seminggu tanpa PR. Anehnya, anak-anak sekelas langsung bersemangat. Kecuali satu: aku.
“Tiketnya dijual, ‘kan?” Zeus memamerkan cengiran lucu. “Kamu harus mengundang kami, ya?”
Aku ingin mengganggu kelas Eva! Tidak ada waktu dengan keluarga cemara! “Hmm.”
“Embun, kami sangat menyayangimu.”
Kasih sayang. Aku sudah menyerah pada hal semacam itu. Ekspektasi mengajariku bahwa berharap berlebih hanya akan memberiku rasa sakit. Sekian banyak usaha yang kulakukan demi mengejar orang yang kupikir akan membalas rasa sayangku, ternyata berbuah pahit.
“Selamat tidur, Embun.”
Dan aku tidak membalas ucapan Zeus.
***
Ulang tahun sekolah. Semua anak bersemangat menyambut perayaan. Kelasku memilih menggelar kafe berkonsep perdukunan! Yang benar saja? Ide Nia memang di luar akal! “Kan kita juga harus mengusung tema lokal,” begitu katanya meyakinkan anak sekelas. Mau-mau saja mereka diperbudak Nia.
Dukun yang Nia maksud pun ternyata bukan dukun tua bau menyan. Dia memilih tema fantasi lokal dengan unsur modern. Kuntilanak seksi, pocong berotot, genderuwo pakai baju geng motor, buto ijo yang diperankan anak cowok terganteng, lalu masih ada setan lokal lain yang dirombak habis-habisan!
“Aaaaa Embun! Memang pantas kamu jadi Nyi Blorong 2006!” teriak Nia bersama sejumlah anak cewek yang puas melihatku mengenakan kostum siluman ular pesugihan!
Kubilang kostum modern. Bukan kebaya, atau batik biasa. Aku mengenakan gaun dengan motif batik. Rok selutut dipadu dengan atasan berbahan tipis warna hijau. Adapula korset hitam yang membuatku sesak napas. Itu belum termasuk sepasang sepatu lolita. Oh rambutku dikepang menyamping dan wajahku dirias amat elok. Tidak lupa dibubuhkan sisik palsu di pelipis. Siluman ular macam apa ini?!
“Aku bersedia jadi pemujamu!” teriak salah satu cowok yang memerankan banaspati. Dia mengenakan kemeja bercorak api. “Embun, nggak usah jadi pelayan. Kamu keluar bawa papan dan kujamin semua orang pasti memilih kafe kitaaaaa!”
“Aku bayar mahal ongkos pembuatan kostum bukan untuk mempekerjakan Embun!” protes Nia. Dia sendiri mengenakan gaun bernuansa batik hijau dan rok lucu mengembang warna hitam. Katanya dia jadi peri versi lokal. Jangan tanya, aku tidak tahu peri yang ia maksud. “Jangan lupa, ongkos foto bersama. Lima puluh ribu, ya?”
Inilah produk kapitalis! Nia!
Bukan main, Nia mengomandokan sejumlah desainer dan penjahit agar kostum kami selesai tepat waktu. Khusus menu pun dipilih yang mengandung unsur lokal, tapi diubah nuansanya jadi sedikit modern. Di kelas ada anak yang ayahnya bekerja sebagai chef. Urusan menu makanan dan minuman tidaklah sulit. Tak kusangka kelasku berisi orang keren.
Jadilah, aku dan seorang cowok yang mengenakan pakaian dukun modern pun maju sebagai pencari pengunjung. Kami harus bersaing dengan sejumlah orang. Kelas Eva mengadakan drama yang tiketnya cukup laris manis. Rekanku bahkan berujar bahwa kelas kami paling unik. “Juga sisinya setan kapitalis,” begitu katanya kepadaku.
Aku tidak peduli. Asalkan bisa sukses, sudah cukup.
“Silakan,” kataku sembari tersenyum. Kuserahkan brosur ke setiap orang yang kujumpai. Hari ini sekolah dibuka untuk umum dan kupikir pasti ada banyak orang berkunjung.
Rekanku diserbu cewek. Dia bahkan berhasil membagikan brosur. Tinggal aku yang membawa lima lembar saja.
“Kamu nggak takut diculik pakai baju begitu?”
Nao masih mengenakan seragam. Dia memicingkan mata kepada rekanku, isyarat agar tidak mendekat.
“Bukan urusanmu,” kataku acuh tak acuh.
“Pasti Nia, ‘kan, yang ngasih ide?”
“Sejak kapan Naoki Kimura peduli dengan anak dari kelas lain?” tantangku dengan senyum menghina. “Nggak ada kegiatan?”
Masa lalu seperti racun.
Aku tidak mau mati konyol untuk kedua kalinya.
***
Bastian: “Kenapa aku merasa aneh?”
Zeus: “Apanya?”
Bastian: “Kata teman sekelasku aku mirip Bi Rain.”
Zeus: “Kamu mirip biduan?”
Bastian: “Bi Rain!”***
Selesai ditulis pada 12 Mei 2024.***
Terima kasih telah menengok Embun. Huhuhu.Loveeeeee seluas samudra untuk kalian semua teman-teman!
Love!
KAMU SEDANG MEMBACA
(NOT) REVENGE (Tamat)
RomanceAku telah mengalami sakitnya pengkhianatan. Orang yang kupercaya sebagai sahabat justru menusukku dari belakang, menghancurkan kepercayaanku, serta membuatku sadar bahwa betapa naif dan dungu pemahamanku perihal manusia. Sekalipun ingin balas dendam...