33. Menjelang (2)

1.4K 236 5
                                    

“Apa kamu butuh bantuan?” tanya Biru begitu melihat ada mobil asing parkir di halaman rumahku.

Usai menghabiskan waktu yang menurutku sangat mengesankan, Biru mengantarku pulang.

Kadang aku merasa Biru punya firasat bagus mengenai segala hal yang berkaitan denganku. Termasuk, yang satu ini.

Aku menggeleng, memasang senyum yang kuharap bisa sedikit meredakan kegelisahan yang bergeliat di hati Biru. “Nggak perlu. Lagi pula, ada orang kok di rumah.”

“Asisten rumah tangga? Embun, kamu nggak perlu sungkan saat pengin sesuatu dariku. Anggap saja bagian dari latihan minta sesuatu dari suamimu.”

Kutepuk pelan lengan Biru. “Usahamu melucu cukup bagus. Aku apresiasi dengan segenap kerendahan hati. Nia pasti akan bangga denganmu.”

“Embun, kamu masih belum menjawab permintaanku.”

“Percayalah, kamu nggak perlu cemas.”

Lekas aku keluar dari mobil. Sebelum pergi, kuperingatkan Biru agar tidak bertindak gegabah. Kadang dia cukup meresahkan, walau tidak separah Bastian, dalam beberapa hal.

Aku tidak bergegas masuk. Kutunggu sampai mobil Biru melaju pergi menghilang dari pandangan.

“Non Embun, ada tamu.”

Ini merupakan kali kedua bagi Eva datang bertamu. Kupikir setelah pernah kutolak permintaannya, maka ia akan kapok. Ternyata dalam beberapa hal Eva tidak terlalu luar biasa.

Setelah mengempaskan diri ke kursi, aku ingin langsung bicara ke pokok permasalahan. Namun, ucapan apa pun yang hendak kulontarkan langsung terhenti begitu saja. Mata Eva merah. Bahkan hidunya pun merah. Pasti ada kejadian tidak menyenangkan yang baru saja ia alami.

“Nggak bisakah kamu melepas Nao?”

Naoki Kimura. Tentu saja hanya pria itu saja yang mampu mengacaukan kehidupan Eva. Dulu aku pernah berada di posisi ini. Memohon, berharap Nao melirikku, dan berandai menjadi wanita yang bisa mendapatkan hati Nao.

Akan tetapi, tidak ada cinta yang kudapat. Hanya penolakan. Itu saja. Eva sekarang tidak ada bedanya dengan diriku di masa lalu. Sama-sama menyedihkan.

“Tolong lepaskan dia,” Eva memohon.

Ternyata Eva juga bisa bicara kata baik. Tolong. Demi Nao?

“Kamu pasti bisa, ‘kan?”

“Eva, hati Nao bukan milik siapa pun kecuali dirinya sendiri. Aku nggak bisa melakukan apa pun selain memberimu saran. Lupakan Nao dan mulai jalani hidup punyamu sendiri.”

Bibir Eva bergetar. Barangkali sebentar lagi air mata akan jatuh dari kedua matanya. “Jangan bohong. Aku tahu dari teman-temanku bahwa Nao akhir-akhir ini memberimu perhatian khusus. Apa itu nggak ada artinya bagimu?”

“Kalau begitu teman-temanmu pasti mengatakan bahwa aku nggak menerima satu pun kasih sayang yang Nao berikan, ‘kan?”

Eva tidak membalas.

“Kita ini dua manusia dewasa,” kataku dengan nada yang terkesan dingin. “Nggak ada waktu untuk berdebat dan bertarung demi seorang pria.”

“Aku cinta Nao!”

“Kamu boleh mencintai Nao sebesar apa pun, tapi jangan bawa aku ke dalam sengketa khayalanmu perihal cinta. Aku nggak tertarik menjalin hubungan apa pun dengan Nao. Satu-satunya pria yang kuanggap menarik hanyalah Biru Lin. Apa itu nggak membuatmu senang? Artinya, tuduhan apa pun yang temanmu kabarkan mengenai diriku terbukti tidak benar.”

Air mata menetes, membasahi pipi Eva.

“Kuharap ini merupakan kali terakhir kamu menemuiku dengan cara yang tidak baik begini,” aku menyarankan Eva. “Demi sesuatu. Demi seseorang. Apa kamu nggak belajar sesuatu dari pengalaman?”

(NOT) REVENGE  (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang