Tante Rasmi mengerut, kehilangan nyali. Apa pun yang sempat ia rencanakan di awal, hancur berantakan. Sungguh pemandangan indah. Tidak kusangka menyaksikan cuplikan pembalasanku. Seharusnya sisi kemanusiaan, yang barangkali kumiliki meskipun sedikit, merasa sedih atas penderitaan orang lain. Namun, kebencian dalam diriku telanjur mengristal; keras seperti batu, membuatku tidak peduli dengan penderitaan Tante Rasmi, dan rasanya aku sungguh jahat.
“Em-embun,” panggil Tante Rasmi dengan mata merah basah, “tolong kamu jelaskan kepada kakakmu. Bu-bukankah selama ini Puspasari selalu baik? Dia bahkan me-mengalah, membiarkanmu mengambil semua yang kamu suka.”
Pertama, harus kutanamkan dalam benak, aku menolak mengikuti kemauan Tante Rasmi. Dia pasti ingin Puspasari diperkenalkan kepada Zeus. Sama seperti di masa lalu. Bedanya, kali ini aku melawan dan tidak mematuhi kehendak Tante Rasmi. Kedua, ini baru permulaan saja. Akan ada serangan lain.
“Kamu jangan nakal begini,” ratap Tante Rasmi dengan tangan gemetar yang kini tertangkup di depan dada. “Selama ini apa, sih, yang enggak kami lakukan demi kamu?”
Serangan itu. Selalu saja Tante Rasmi gunakan untuk melumpuhkanku. Dia bicara seolah aku yang salah, aku!
Kedua tanganku mengepal. Mungkin menghadiahkan satu atau dua pukulan bisa menenangkan kemarahan yang meletup dalam dada. Namun, itu tidak ada guna bagi rencana masa depan yang telah kususun rapi. Aku ingin keluarga biadab tersebut hancur.
“Tante bilang aku nggak boleh ngerepotin,” balasku dengan nada suara yang tidak kalah mengenaskan. Kupaksa kedua mataku agar bersedia mencucurkan air mata meski tidak ada hal yang patut kutangisi ... setidaknya sekarang. “Aku nggak pernah protes sewaktu Puspasari pakai baju baru, lantas aku mengenakan pakaian bekasnya.”
Zeus yang pandangan matanya seolah ingin membuat lubang di seluruh tubuh Tante Rasmi pun berpaling, menatapku yang berdiri di sampingnya. Dia mengamatiku dari atas ke bawah.
Hari ini aku mengenakan seragam terjelek yang ada dalam koleksi di lemari. Warna putih yang menguning seolah seseorang meneteskan cairan tertentu agar warnanya makin pudar. Sabuk dengan kulit mengelupas. Rok yang ujungnya kutambal dengan benang kelabu, lubangnya tidak lebih dari satu sentimeter. Kaus kaki yang kuakali dengan karet gelang agar tidak turun. Sepatu hitam, atau dulunya warna hitam.
Ya, lihat dan saksikan betapa buruk perlakuan Tante Rasmi sekeluarga. Zeus harus tahu.
“Beginikah cara keluarga ini memperlakukan keturunan Kusuma?”
Zeus menyebut nama besar Papa, nama yang ia gunakan dalam bisnis. Terdengar amat jelas amarah yang bergumpal seolah tsunami besar hendak menyapu bersih bangunan ini.
Apa pun yang sempat memunculkan keberanian dalam diri Tante Rasmi, keajaiban itu, telah padam. Wanita sinting itu tidak berkutik. Kedua mata membulat, di dalamnya dipenuhi teror dan sentuhan kecemasan akan masa depan.
Perlahan Tante Rasmi mundur beberapa langkah. Tubuhnya mulai kehilangan keseimbangan dan tidak akan mengejutkan bila akan jatuh.
“Embun.”
Zeus memanggil namaku. Dia tidak ragu mengajakku keluar dari rumah. Sekarang aku bisa menikmati kemenangan pertama atas orang-orang yang membuatku sekarat, hidup bagai di neraka. Aku tidak ingin berhenti. Kebencian dalam hatiku semakin mekar laksana mawar dengan duri beracun. Akan kuhunjamkan setiap duri kepada siapa pun yang telah mengubahku menjadi makhluk buruk rupa.
Semua orang....
... tanpa terkecuali.
***
Sepanjang perjalanan menuju hotel, tidak ada satu pun di antara aku dan Zeus yang bicara. Hanya ada keheningan. Padahal di luar kendaraan ada bermacam suara, tapi bising tersebut tidak sanggup mencairkan kebekuan.
Bisa saja Zeus langsung mengajakku naik pesawat atau kereta api ke Jakarta, tapi dia berkata, “Kita istirahat dulu.”
Dulu Zeus tidak peduli dengan kondisiku selepas kepergiaanku dari rumah. Mungkin karena dulu kami menginap dulu di rumah Tante Rasmi. Atau ... bisa saja hati kakakku tidak pernah kupahami secara baik. Semua sekadar prasangka.
Sebelum Zeus meninggalkanku sendirian di kamar hotel, aku meraih tangannya. “Jangan pergi dulu.”
Dia menurut. Lekas ia tutup pintu, menantiku menjelaskan sesuatu.
Aku menarik bagian bawah kemeja seragamku agar keluar dari belitan sabuk. Tindakan itu membuat Zeus membelalak dan lekas kuinterupsi sebelum dia berpikir aneh: “Aku nggak akan telanjang. Cuma ingin pamer lebam.”
Ucapanku tidak memberi dampak positif sama sekali terhadap Zeus. Dia justru menatapku dengan tatapan sengit seakan orang yang bertanggung jawab atas lebam tersebut ada di kamar.
Perlahan kuangkat, sedikit, hanya untuk memperlihatkan lebam di pinggang. “Ini kena pukul,” jelasku tanpa emosi apa pun dalam suaraku. “Tante Rasmi marah karena aku memecahkan piring kesayangan Puspasari.” Kemudian kututup lebam tersebut. Kini kubuka dua kancing teratas, cukup untuk memperlihatkan bilur mungil di selangka. “Kalau ini gara-gara anak tetangga yang naksir Puspasari. Dia nggak suka lihat aku pakai bekas bajunya.”
“Kenapa kamu nggak pernah mengadukan semua ini kepada Papa?”
Aku kembali mengancingkan kemeja dengan gaya malas. “Tante Rasmi dan Om Adi bilang Papa sibuk. Kalau aku berani mengganggu, maka ... yah diriku dinilai sebagai bocah durhaka.”
“Papa nggak akan menganggapmu sebagai bocah nakal, Embun.”
Aneh sekali. Dahulu aku tidak berani berhadapan dengan Zeus. Dia terlihat menjulang, tinggi, dan berdiri di hadapannya membuatku merasa kerdil. Namun, sekarang semua perasaan semacam itu telah hilang. Barangkali hatiku mati rasa atau hanya berisi kemarahan dan kebencian.
“Kalau Papa nggak marah,” kataku dengan nada getir. “Kenapa dia membuangku?”
Hening sejenak. Sekali lagi dingin yang membekukan menjalari kami ... atau hanya aku seorang. Zeus memberiku tatapan yang tidak bisa kutafsirkan satu pun. Dia seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi mengurungkan niat tersebut.
Kami, aku dan Zeus, berasal dari ibu yang berbeda. Ibu Zeus orang asing. Dia bekerja sebagai seniman. Sangat cantik dan memiliki rambut ikal bergelombang warna cokelat tanah serta sepasang mata hijau gelap. Zeus mewarisi keelokan ibunya dan keanggunan Papa.
Ibu Zeus bercerai dengan Papa. Dia menyerahkan hak asuh atas kedua putranya kepada Papa. Wanita yang tidak ragu mengejar mimpi, menurutku.
Lalu, setelahnya Papa menikah dengan Mama, ibuku. Sayang Mama terlalu rapuh dan pergi meninggalkan kami. Aku dengan kesendirian. Papa dengan penyesalan. Kami berdua sama-sama terluka dan pilihan yang Papa ambil ialah, membuangku.
“Kenapa dia menyerahkanku kepada mereka?” tanyaku dengan nada terlalu tenang. “Namun, sekarang nggak penting. Nggak ada yang perlu diperdebatkan, bukan?”
“Embun....”
“Oh ya, terima kasih karena telah mengeluarkanku dari kubangan jahanam. Aku peringatkan, nggak perlu melaporkan kasus KDRT atau apa pun ini ke pihak berwajib.”
“Tapi, mereka pantas mendapat hukuman!”
Haaa aku ingin mereka tersiksa, tapi bukan dengan cara elegan. “Jangan biarkan penjara sebagai akhir dari kejahatan mereka. Penjara nggak akan membuat mereka susah. Di sana mereka masih dapat makan tiga kali sehari, terlindung dari hujan dan panas, dan mungkin sewaktu keluar masih bisa buka warung.”
“Apa maumu, Embun?”
“Ambil semua uang yang telah Papa gelontorkan kepada keluarga Tante Rasmi,” saranku. “Aku mau uangnya untukku. Semuanya.”
Apa yang paling dibenci orang kikir?
Yups, uangnya diambil semua.
***
Selesai ditulis pada 24 April 2024.***
Iiiih cantik banget tanggal, bulan, dan tahunnya! Lihat lhoooooo itu!Oh ya, Kitty dan Clea akan menyusul. Saya ngetik dua cerita itu pas malam saja. Ini (terima kasih, Tuhan) saya ada kuota bonus jadi bisa update sekarang. Hmmm maaf, ya. Hehehe dua cerita lain sedikit menunggu. Semoga nanti bisa cepat saya tulis. Huhuhuhuhuhu!
Salam cinta dan semoga kalian semua selalu diberi kemudahan dalam melakukan apa pun yang baik! Muah! Hug!
KAMU SEDANG MEMBACA
(NOT) REVENGE (Tamat)
RomanceAku telah mengalami sakitnya pengkhianatan. Orang yang kupercaya sebagai sahabat justru menusukku dari belakang, menghancurkan kepercayaanku, serta membuatku sadar bahwa betapa naif dan dungu pemahamanku perihal manusia. Sekalipun ingin balas dendam...