Bastian dalam ingatanku pribadi yang tidak menyenangkan. Dia akan bicara apa saja yang ada dalam kepala, tanpa filter, dan sama sekali tidak takut setiap ucapan yang ia lontarkan akan menyakiti si pendengar. Seperti anjing galak; hobi menyalak, menggigit tanpa ampun, dan merindukan perkelahian antara satu sama lain.
“Kamu tahu, enggak? Demi memenuhi permintaan Zeus, aku rela dipandang aneh sama mbak-mbak penjaga toko. Bagaimana bisa aku yang jantan dan ganteng ini beli komik cewek? Itu belum termasuk tatapan sinis dari pengunjung sewaktu aku masuk distro. Mereka pasti mikir aku sebagai bagian dari sindikat penculik cewek yang hendak dijual sebagai pekerja ilegal di luar negeri.”
Inilah yang kuketahui mengenai Bastian:
Satu, Bastian tidak memanggil Zeus sebagai kakak. Abang pun enggan. Barangkali dia tidak memiliki keinginan khusus memiliki ikatan persaudaraan ala drama picisan.
Dua, aura “jangan sentuh aku atau kugigit” tampaknya hanya ada dalam halusinasiku saja. Efek mendapat perlakuan tidak menyenangkan sepanjang masa muda, membuatku jadi waswas dan bertindak waspada. Padahal Bastian tidak terlalu menyeramkan. Sebenarnya, dia jauh dari kesan angker. Mungkin, aku telah berubah jadi kebal karena tubuhku berhasil membuat antibodi dan membuatku kuat.
Tiga, Bastian masuk ke kamarku. Mulai berlagak sebagai pemandu. Dia dengan sukarela pamer ini dan itu. Seolah diriku tidak bisa melihatnya saja.
Hari kedua tinggal di sini, di rumah Papa, benar-benar mengubah pandanganku mengenai beberapa hal dari masa lalu. Termasuk, keunikan serta keajaiban Bastian.
“Oke, aku ngerti,” sahutku sembari pura-pura tertarik.
Aku duduk di ranjang, tidak tertarik mendekati Bastian yang berdiri di depan rak sembari menunjukkan mengenai komik dan rekomendasi bacaan.
“Oh, ya!” serunya sambil menepuk jidat. Bila dia yang melakukan gerakan itu, pasti terlihat keren. Kalau aku yang sekarang ... mirip usaha mengusir nyamuk. “Kamu nggak boleh panggil aku ‘Bastian’. Nggak boleh.”
Sama seperti dulu. Bastian melarangku memanggil namanya secara langsung. Tidak masalah. Bukan masalah besar buatku. “Paham.”
Kerutan di kening Bastian bertambah dalam. Bibir pun makin maju, menurut pengamatanku, seolah akan melontarkan ribuan protes terkait respons dariku.
“Maksudku, jangan panggil Bastian seperti aku panggil Zeus,” cecarnya sembari memamerkan telunjuk. “Nggak boleh. Kamu lebih muda daripada aku. Sebagai saudara, sudah sepantasnya kamu menghormati kakakmu ini.”
“Jadi, aku harus panggil kamu dengan apa? Yang Mulia? Paduka Bastian? Yang Dipertuan Agungkan Bastian? Master Bastian? Atau, sekalian saja aku panggil kamu dengan ini: Yang Tidak Boleh Disebut Namanya Inisial S, begitu?”
“Jangan samakan aku dengan musuh bocah penyihir dengan bekas luka di kening dong!” protes Bastian sembari mencebik. Dia tidak lagi memperlihatkan telunjuk. Justru sekarang dia sibuk mengacak rambut dengan gerakan serampangan. Tahukah dia kalau mendaftar sebagai model Vogue, mungkin akan langsung diterima? “Aku maunya kamu panggil aku ‘Kakak’, mengerti?”
Dulu Bastian tidak mau tahu dengan caraku memperkenalkan diri ataupun panggilanku untuknya. Oh benar juga. Aku tidak pernah berani memulai pembicaraan. Tubuh selalu gemetar, ketakutan, dan hanya diam. Apa dulu Bastian sebenarnya berniat memulai perbincangan selama berada di dekatku? Usaha yang tidak bisa kupahami karena pada waktu itu cara pikirku sangat dangkal?
Lalu, mengenai memanggil Bastian dengan kakak?
Mendadak aku merasa ada batu besar yang menghantam dada. Sangat besar hingga rasanya sulit bernapas. Aku harus memberi jawaban atas permintaan Bastian, tapi mulutku terkatup rapat. Sulit bagiku memaksa ribuan kata agar mewujud dan menyampaikan emosi yang menggumpal dalam dada.
KAMU SEDANG MEMBACA
(NOT) REVENGE (Tamat)
RomanceAku telah mengalami sakitnya pengkhianatan. Orang yang kupercaya sebagai sahabat justru menusukku dari belakang, menghancurkan kepercayaanku, serta membuatku sadar bahwa betapa naif dan dungu pemahamanku perihal manusia. Sekalipun ingin balas dendam...