Hari pertama sekolah. Senin. Terus terang aku tidak suka Senin. Sebab pada hari itu berjejer mata pelajaran yang membuatku sakit kepala: matematika, fisika, dan kimia.
Pada awal masuk SMA, otakku rasanya mau pecah. Pertama kali berkenalan dengan kimia bukanlah pengalaman menyenangkan. Guruku, seorang pria kurus dengan wajah yang mirip salah satu komedian Indonesia yang hobi kawin cerai, memiliki pribadi yang kurang menyenangkan. Dia tidak suka bila ada murid yang berani memfotokopi buku paket. Harus beli. Wajib. Harga satu buku paket amat menguras dompet. Saat itu belum ada toko online dan satu-satunya akses membeli buku melalui koperasi sekolah ataupun pergi ke toko buku yang hanya ada di kota.
Kepribadian menyebalkan guruku ini tidak berhenti pada satu hal saja, melainkan ke sejumlah aspek keji. Seperti, bila aku tidak mengerti satu pun materi yang ia jelaskan maka tanpa ragu akan berkata, “Kamu kok nggak bisa ngerjain soal semudah ini? Lihat temanmu, Rudi, dia bisa menyelesaikannya.” Konyol. Rudi anak PNS, mendapat pendidikan tambahan berupa les di luar sekolah, dan tidak perlu bertanggung jawab memasak untuk tiga orang. Apa guruku tidak bisa memberiku motivasi? Haruskah merendahkanku?
Andai saja dia masih mengajar pada 2019, kujamin guru yang satu itu akan masuk trending topic di media sosial karena tidak bisa menyaring ucapan.
Oleh karena itu, aku pun beralih ke jurusan bahasa. Setidaknya di sana aku tidak perlu berurusan dengan ilmu hitung. Sayangnya di kelas pun aku tidak cukup beruntung. Anak-anak menjauhiku karena mereka menganggapku aneh. Aku tidak aneh. Aku hanya kesulitan mengutarakan pendapat dan memahami cara pikir mereka yang tertarik kepada cowok, motor kredit, dan pengalaman kencan.
Sekarang aku tidak akan membiarkan diriku mengulang kesalahan. Di kelas baru, akan kumanfaatkan sejumlah peluang demi keuntunganku!
***
“Kamu sudah siap?”
Suara Zeus membuyarkan lamunanku. Aku ada di mobil, duduk di samping Zeus. Dia tidak mengemudikan mobil, orang lain yang jadi sopir. Pria yang menjemput kami di stasiun.
Zeus mengenakan pakaian kerja: kemeja biru, jas hitam, dasi putih, celana warna gelap, dan sepatu mengilap. Dia cocok menjadi bagian dalam film romansa mengenai CEO dan gadis kutu buku. Kujamin akan banyak orang yang bersedia membeli tiket demi menonton film semacam itu, termasuk aku.
Berbeda dengan Zeus, aku mengenakan seragam sekolah baru. Atasan merah muda berupa kemeja lengan panjang. Sebuah dasi berbentuk pita motif kotak-kotak merah dan hitam. Rok lipit warna merah gelap. Kaus kaki putih yang membungkus betis. Lalu, sepatu tali bernuansa merah dan hitam.
Ada ransel bermotif bunga-bunga mungil warna ungu tua. Sudah diisi dengan perangkat perang. Buku dan teman-temannya. Aku bahkan mendapat ponsel baru. Jenis yang pada 2006 terlihat canggih, padahal boros baterai. Di pangkuanku ada kotak karton. Isinya adalah senjataku. Senjata yang akan kugunakan untuk meraih simpati.
“Siap,” jawabku dengan nada yakin. Aku belum sempat melanjutkan ucapan, ketika terdengar suara pintu mobil dibuka. Tepatnya, pintu mobil yang ada di sampingku.
“Jangan tinggalin aku!” Bastian terlihat berantakan dengan cara mengesankan. Celana jins biru tua, kaus dan jaket, lalu ransel hitam. Dia langsung duduk di sampingku, sedikit mendorongku ke sisi Zeus, dan langsung menutup pintu. “Aku ada kelas pagi!”
“Biasanya juga telat ke kampus,” cibir Zeus dengan ekspresi dingin. Bagaimana bisa dia mengomentari adiknya seperti ini? “Nggak perlu sok rajin.”
“Aku memang ada kelas pagi,” Bastian berusaha membela diri. “Embun, mau aku temani masuk kelas? Kamu kelas ... hmm XI, ‘kan?”
“Dia nggak butuh pengasuh, Bastian,” Zeus memperingatkan. “Tolong jalan, Pak.”
KAMU SEDANG MEMBACA
(NOT) REVENGE (Tamat)
عاطفيةAku telah mengalami sakitnya pengkhianatan. Orang yang kupercaya sebagai sahabat justru menusukku dari belakang, menghancurkan kepercayaanku, serta membuatku sadar bahwa betapa naif dan dungu pemahamanku perihal manusia. Sekalipun ingin balas dendam...