4. Dengan Zeus

1.5K 329 7
                                    

Setelahnya Zeus tidak mengusik diriku dengan pertanyaan. Dia tidak memaksaku menerima sosok Papa sebagai orangtua bijak, tidak pula berusaha mencuci otakku dengan cerita keluarga bahagia, dan membiarkanku beristirahat sehari penuh.

Kuanggap itu sebagai sesuatu yang baik. Lagi pula, fisik yang sekarang kumiliki, di masa ini, terbilang lemah. Bayangkan saja seorang remaja dalam masa pertumbuhan yang tidak mendapat asupan gizi. Sekalipun Tante Rasmi memasak, tentulah jatah makanku tidak sama dengan milik Puspasari maupun Om Adi. Aku hanya diperkenankan makan nasi dingin sisa kemarin ataupun lauk yang sudah tidak disukai Puspasari. Begitulah kenyataannya.

Lalu, ada bagusnya juga tidak punya teman akrab di SMA. Aku tidak perlu mengucapkan salam perpisahan maupun merasa sedih dikarenakan tidak bisa satu kelas.

Tidak punya ponsel, yang dulu sangat membuatku merasa tertinggal dan kampungan, juga tidak seburuk yang kubayangkan. Lagi pula, ponsel pada tahun 2006 tidak secanggih android. Rata-rata anak SMA yang ada di sekolah lamaku memakai ponsel yang menawarkan fasilitas foto, pemutar lagu, radio, kirim pesan dan telepon, serta yang paling canggih mentok pada fitur jejaring sosial.

Semua gawai canggih akan kumiliki, nanti. Papa akan memberiku ponsel tercanggih, tapi bukan itu yang kubutuhkan. Ada hal lain yang perlu kulakukan ketika kami berjumpa.

“Semoga kita cepat bertemu,” kataku kepada diri sendiri sebelum lelap dalam tidur tanpa mimpi.

***

Esoknya kami segera berangkat menuju stasiun. Sudah kubilang tempatku bernaung terletak di pinggiran dan kalaupun ingin naik pesawat, maka harus bermobil menuju Surabaya. Empat atau mungkin lima jam. Menuju Jakarta naik mobil? Tidak usah. Itu bisa memakan waktu yang lebih panjang daripada berkendara ke Surabaya. Aku pasti akan muntah karena kesehatanku tidak prima. Beda cerita bila tubuhku telah pulih dan mendapatkan semua yang seharusnya diperoleh seorang remaja enam belas tahun.

Oleh karena itu, aku dan Zeus naik kereta terbagus yang bisa kami dapatkan. Oh tentu saja, Zeus bisa membeli tiket kereta apa pun. Meski harganya lebih dari seratus ribu (yang bagiku sangat mahal pada waktu itu), dia pasti mampu. Mobil yang kami kendarai tadi, entah mobil sewa ataupun milik pribadi, dipercayakan kepada sopir yang menemani Zeus menjemputku.

Jadilah di kereta hanya aku dan Zeus saja. Dia membawa koper mungil cantik warna hitam, sementara milikku koper ukuran sedang superlusuh. Ranselku pun tidak banyak membantu memperbaiki penampilan. Dulu kupikir penumpang kereta elite pastilah jijik melihat caraku berpakaian. Lantas aku tidak berani menatap siapa pun, hanya duduk diam dan merasa menjadi makhluk buruk rupa sejagat raya.

Padahal tidak ada satu orang pun peduli. Mereka sibuk dengan dunia masing-masing. Aku tidak perlu menganggap keberadaanku paling kerdil dan rendah. Perasaan semacam itu sudah lama pudar ... atau, mungkin karena dalam diriku telah dipenuhi oleh kemarahan dan dendam. Maka, rasa rendah diri memupus dan terabaikan.

Aku dan Zeus duduk di barisan kedua. Diriku di dekat jendela, dia diam saja selama beberapa jam. Tidak ada hiburan apa pun yang kumiliki. iPod, ponsel canggih, game, bahkan novel pun tidak punya. Semua benda penting yang kuselamatkan ada di koper. Tentunya tidak bisa kugunakan sebagai hiburan.

“Kamu nggak baca buku?”

Akhirnya Zeus bersedia bicara. Ada sekitar satu jam kami hanya diam dan menatap titik mana pun yang tampak menarik. Kupikir kebungkaman Zeus akan berlangsung sepanjang perjalanan naik kereta, sama seperti dahulu kala pada masa lalu.

“Cuma punya LKS, buku tulis, dan fotokopian buku paket,” jelasku sembari menatap jemari Zeus yang panjang. Kupikir dia sangat cocok jadi pianis ataupun gitaris. Sayangnya dia akan melanjutkan usaha Papa. “Berapa usiamu?”

(NOT) REVENGE  (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang