Bastian bersedia mengantarkan Nia. Tentu saja setengah hati dalam menjalankan kebaikan. Dia tidak suka jadi sopir dadakan untuk orang asing, katanya sembari memutar siaran radio di mobil. Tidak tanggung-tanggung, ia sengaja menyetel volume suara hingga lantunan lagu dari Ungu terdengar lantang. Kutebak ia sengaja melakukan itu demi membuat Nia jengkel.
Sayang siasat itu tidak berhasil. Nia tidak berceloteh menanggapi ketidaksopanan Bastian. Dia justru memilih duduk manis, menggerlung manja seperti kucing, dan memeluk lenganku seolah diriku ini guling dadakan. Berhubung kami berdua duduk di jok belakang, keberadaan Bastian makin mirip sopir terabaikan.
Rumah Nia ternyata ada di daerah yang terbilang elite. Jalanan menuju ke sana pun bagus; tidak berlubang, ada trotoar dengan tanaman hijau, bahkan penerangannya pun baik. Tidak seperti jalanan di kampungku. Sampai di tujuan, Nia menawariku mampir. Namun, Bastian menolak dan beralasan sudah ditunggu Papa.
Jelas Nia ingin membantah, tapi mengurungkan niat. Dia hanya mendengkus dan kuduga sedang mengutuk Bastian dalam hati.
Kami, aku dan Bastian, pun pulang sesuai rencana. Bisa saja aku pindah ke kursi depan, duduk di dekat Bastian yang tengah mengemudi. Namun, mataku terlalu lelah. Kelopak mata terasa berat dan sesekali aku menguap.
“Tidur duluan aja,” Bastian menyarankan.
Aku ingin membantah, tapi beban tidak kasatmata membuatku ingin memejamkan mata. Mematuhi nasihat Bastian, aku merebahkan diri dan mulai lelap dalam mimpi yang ingin kuabaikan.
***
“Kamu tahu, ‘kan, kalau aku nggak suka Diva?”
Mata Eva begitu nyalang, penuh kebencian seakan kesialan yang menimpanya selepas pesta merupakan kesalahanku. Aku tidak tahu bahwa pihak penyelenggara ternyata mengundang Diva sebagai salah satu tamu istimewa. Ada banyak orang penting sekaligus bintang hiburan yang turut memeriahkan acara pembukaan produk parfum terbaru milik istri pejabat. Pemburu berita pun sangat puas bisa menulis bermacam orang penting demi dicetak dalam sebuah surat kabar maupun majalah.
“Aku nggak suka Diva!” pekik Eva, matanya meradang dan tampak merah. Seperti darah.
Kami, aku dan Eva, tengah berada di ruang santai yang memang disediakan oleh penyelenggara. Tidak ada satu pun di sini, di ruangan ini, selain aku dan Eva. Dia berdiri di hadapanku, terlihat elok dan menawan. Seharusnya dia duduk di kursi VIP, bersama orang ternama lainnya. Namun, dia justru memilih menyepi di ruangan ini dan mulai meluapkan kemarahan kepadaku.
“Tapi,” aku berusaha membujuk, “dia ada di meja lain. Kamu seharusnya nggak merasa tertekan....”
Belum sempat kuselesaikan ucapanku, Eva memekik dan mulai mendaratkan tamparan panas di pipiku. “Kamu bodoh,” desisnya dengan nada yang terdengar amat beracun.
Rasa nyeri dan perih berdenyut di wajah. Jantungku berdebar kencang, membuat dada sesak. Aku berusaha mempertahankan keseimbangan, takut jatuh dan membuat Eva semakin meradang.
Kusentuh wajahku, berusaha meraba kulit yang kupikir akan retak dan mengalirkan darah. Sakit sekali.
“Kupikir mengajakmu ke sini bisa membuat Nao berpaling dari pecundang itu!” Eva mulai mengentakkan kaki. Tidak peduli bahwa bisa saja ia terluka karena mengenakan sepatu berhak tinggi. “Kamu bilang kakakmu cukup berpengaruh, ‘kan? Lantas mengapa dia nggak bisa memastikan agar Diva nggak diundang ke sini?!”
Aku menggeleng pelan. Pandanganku memburam akibat sengatan air mata yang bisa saja tumpah. Tenggorokkan tercekik. Rasanya sakit sekali. Bicara pun butuh usaha keras, tapi anehnya aku bisa memaksakan diri bicara kepada Eva. “Maaf.... Aku sudah berusaha, tapi Zeus bilang nggak mau mencampuri urusan orang lain.”
KAMU SEDANG MEMBACA
(NOT) REVENGE (Tamat)
RomanceAku telah mengalami sakitnya pengkhianatan. Orang yang kupercaya sebagai sahabat justru menusukku dari belakang, menghancurkan kepercayaanku, serta membuatku sadar bahwa betapa naif dan dungu pemahamanku perihal manusia. Sekalipun ingin balas dendam...