Sebelum kembali bersama keluarga Papa, aku sempat dititipkan kepada Tante Rasmi. Keputusan bodoh, menurutku. Papa tidak mempertimbangkan bahwa tinggal di desa yang bahkan kecamatannya saja aku ragu ada orang luar pun tahu, hanya memberiku perasaan rendah diri.
“Kamu tuh tahunya cuma makan, makan, dan makan,” cerocos Tante Rasmi yang kini menyajikan sarapan untuk Puspasari dan Om Adi. “Nggak guna!”
Bila Puspasari dan Om Adi makan di meja makan, maka aku duduk di dingklik sendirian. Tante Rasmi, Om Adi, maupun Puspasari tidak memperbolehkanku makan semeja dengan mereka. Ironis. Mereka makan menggunakan peralatan makan dari keramik maupun kaca, sedangkan diriku memakai piring dan gelas plastik. Sendok pun hanya berupa sendok lawas yang jelek bukan main. Penyihir sinting pun akan mengira sendok milikku sebagai salah satu perlengkapan peracik ramuan kodok. Pasti.
“Udahlah, Ma,” Puspasari merajuk, “sebentar lagi temanku datang. Aku harus segera sarapan, jangan sampai telat.”
Seolah aku tidak akan telat saja, ya? Kami berdua, aku dan Puspasari, sama-sama tengah menempuh pendidikan di bangku SMA. Bedanya hanya satu. Dia sekolah di kota, sementara aku di SMA negeri yang ada di kecamatan kami. SMA yang baru saja dibangun tiga tahun lalu. Letaknya di dekat sawah, sangat panas ketika siang, dan muridnya di sana lebih banyak yang menyebalkan daripada tidak.
“Aku juga nggak boleh telat, Ma,” Om Adi menambahkan.
Om Adi bekerja sebagai pegawai TU di sebuah SMP. Dia bertubuh kurus, berkulit gelap, dan berambut tipis.
“Maaf, ya,” kata Tante Rasmi sembari memberiku tatapan mematikan, “gara-gara Embun malas-malasan, kalian yang harus kena imbas.”
Embun. Itulah namaku. Cukup aneh, bukan? Justru nama yang terdengar meneduhkan itu sama sekali tidak menggambarkan diriku. Kehidupan milikku jauh dari kata damai.
“Embun, kerja yang benar!” teriak Om Adi. Dia melemparkan sebuah wadah plastik berisi air. Benda itu melayang dan mendarat di dekat kakiku, menumpahkan isinya ke lantai. “Kamu tuh sama saja dengan ibumu! Nggak bisa nolongin keluarga, bisanya nyusahin.”
“Mas, awas tensimu,” Tante Rasmi berusaha menenangkan Om Adi.
Dulu bila diperlakukan seperti ini, keji, aku pasti ciut. Namun, sekarang yang ada hanya rasa kebas. Alih-alih meladeni keluarga sinting ini dengan tantrum, kuputuskan untuk bangkit dan mengabaikan piring yang makanannya sama sekali belum tersentuh.
“Heh mau ke mana kamu?” teriak Om Adi. “Aku belum selesai!”
Aku berlari keluar, mencari sepeda butut peninggalan Puspasari, dan segera mengayuhnya menuju sekolah.
“Belum saatnya,” kataku kepada diri sendiri.
Udara pagi terasa dingin, membuat paru-paruku segar dan letupan amarah dalam diriku mendingin.
“Belum saatnya membalas.”
Iya, aku harus bersabar. Sekarang tanggal dua puluh. Seingatku pada tanggal ini Zeus akan menjemput dan membawaku pergi dari rumah Tante Rasmi. Aku telah merapikan seluruh barang yang kuanggap penting dan menjual. Tinggal menanti kesempatan, setelahnya akan kubalas mereka dengan cara yang tidak akan mereka duga.
***
2006 merupakan tahun terburuk. Pada saat itu aku selalu diliputi perasaan cemburu kepada anak mana pun yang memiliki ponsel keluaran terbaru. Aku juga iri kepada anak yang punya motor, sekalipun bekas. Setidaknya mereka tidak perlu mengayuh sepeda di bawah siraman sinar matahari yang panas menyengat.
Sampai di kelas, semua anak langsung memberiku tatapan mencemooh. Di antara sekian anak, hanya aku saja yang memakai sepatu dengan warna hitam yang patut dipertanyakan keabsahannya. Seragamku juga mulai menguning karena terlalu sering dipakai olehku ... bukan, terlalu sering diempas badai kehidupan.
Aku duduk di deretan bangku paling belakang. Sendirian. Tidak ada satu anak pun yang bersedia duduk denganku. Mereka secara terang-terangan bicara di depan mataku, “Kamu tuh nggak level dengan kita. Aneh. Nggak punya pacar, nggak cantik, dan nggak kaya. Bodoh pula.”
Standar pertemanan anak-anak kecamatan pinggiran ini cukup memprihatinkan. Dulu aku merasa terbuang setelah mendapat penolakan. Bodoh. Padahal jauh lebih mengerikan tidak punya uang dan pekerjaan daripada tidak punya pacar maupun barang bermerek. Picik sekali pola pikirku semasa SMA.
Pelajaran dimulai dan aku tidak peduli dengan segala candaan yang diarahkan mereka kepadaku. Iya, bila ada lelucon yang menurut remaja kelebihan hormon ini kira lucu, maka akulah yang akan mendapat kesempatan emas sebagai penerima candaan mengarah penghinaan tersebut. Aku, bukan yang lain.
***
Sepulang sekolah, Tante Rasmi langsung menyambutku. Tidak seperti biasanya, dia memberiku senyuman manis seolah diriku terbuat dari emas yang bisa ia jual ke pegadaian. “Cepat, masuk,” katanya dengan nada ramah.
Bukan main, dia bahkan membantuku memasukkan sepeda dan membawa ranselku.
Tidak perlu merasa aneh. Aku sudah melihat ada mobil mewah yang parkir di halaman. Itu kendaraan milik Zeus, kakakku. Akhirnya setelah aku sabar menanti, dia muncul.
“Maaf ya, Mas. Embun baru pulang,” ucap Tante Rasmi seolah kami berdua memiliki hubungan baik.
Di kursi jati duduklah dua orang. Zeus dan sopir pribadinya. Kakakku masih sama seperti yang bisa kuingat. Tinggi, gagah, berkulit bersih, rambut hitam tebal, beralis yang warnanya sedikit cokelat, dan sepasang mata tajam. Sopir mengenakan pakaian serbahitam, sementara Zeus memakai baju santai. Dia mengamatiku, keningnya berkerut, lalu berkata, “Tante, saya ingin langsung membawa Embun pulang ke rumah.”
“Eh, Mas,” Tante Rasmi menyela, “nggak nginap? Apa nggak pengin ketemu Puspasari? Dia cantik lho. Mas, nginap saja di sini, ya?”
Zeus menggeleng. “Jadwal kami padat. Semua urusan administrasi akan diselesaikan Papa. Sekarang saya ingin langsung mengajak Embun saja.”
Tante Rasmi mencengkeram lenganku. Jarinya mencubit dan itu isyarat agar aku bekerjasama.
Cih tidak usah! Akan kutahan rasa sakit ini sampai kutemukan kesempatan membalas perbuatan Tante Rasmi.
Aku menyentak tangan Tante Rasmi, langsung mendekati Zeus. “Ikut aku,” ucapku seraya mencengkeram pergelangan tangannya. Kubimbing dia menuju kamarku. Biar dia lihat seperti apa kondisiku.
“Bantu aku bawa barang,” kataku. Kulepas tangan Zeus. Kubiarkan dia menyaksikan kamarku, penjaraku. Aku meraih koper berisi barang penting yang telah kusiapkan semalam. Zeus berdiri kaku di depan pintu kamar. Ekspresi di wajah Zeus berubah ubah; dari kaget, mual, lalu marah. Rahang Zeus mengeras. Kepada sopir yang berdiri di belakangnya, ia berkata, “Tolong bantu Embun membawa koper.”
Zeus menghampiriku. Kulihat kedua matanya diliputi badai emosi. Barangkali dia ingin mengelus kepalaku, tapi mengurungkan niat. “Ayo kita pulang.”
Kali ini dia meraih tanganku, menggenggamnya dengan lembut.
Saat berpapasan dengan Tante Rasmi yang kini berdiri dengan tubuh gemetar, senyum kepuasaan pun terbit di bibirku.
“Se-semua bisa dijelaskan, Mas,” kata Tante Rasmi terbata-bata. Dia pasti berusaha tidak kabur. Mengagumkan. Aku tahu dia tidak menyangka bahwa diriku akan langsung menyeret Zeus ke kamarku. Barangkali dia pikir aku masih si bodoh itu. Kini aku akan membalas semuanya.
“Apa maksud, Tante?” tanya Zeus dengan nada menghina. “Sepertinya nggak ada yang perlu dijelaskan.”
“I-itu kamar sementara....”
“Sementara?” sindir Zeus. “Kelihatannya sudah lama ditempati Embun.”
Tante Rasmi menggeleng pelan. Semua kesombongan telah melayang, menguap, lenyap dari tubuh gembul itu.
Semuanya.
***
Selesai ditulis 23 April 2024.***
Huhuhuhuhuhuhuhu selamat membacaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!Love you untuk kalian semua, teman-teman.
KAMU SEDANG MEMBACA
(NOT) REVENGE (Tamat)
RomanceAku telah mengalami sakitnya pengkhianatan. Orang yang kupercaya sebagai sahabat justru menusukku dari belakang, menghancurkan kepercayaanku, serta membuatku sadar bahwa betapa naif dan dungu pemahamanku perihal manusia. Sekalipun ingin balas dendam...