6. Percakapan Aneh

1.4K 312 8
                                    

Aku bangun pada pukul sepuluh pagi. Jelas tubuhku butuh lebih dari sekadar istirahat berupa tidur. Menempuh perjalanan menuju Jakarta sangat menguras tenaga, terlebih dengan kondisi fisik milikku. Alasan bagus untuk kutambahkan ke daftar alasan harus membalas perbuatan keluarga Tante Rasmi. Seharusnya aku tumbuh sehat sebagaimana remaja enam belas tahun pada umumnya. Bukan kering, berkulit pucat, bibir pecah-pecah, kelopak mata berkantung mirip panda, dan rambut berantakan kurang nutrisi. Ini bukan tampilan remaja segar!

Setelah mandi, ganti baju dengan kaus lengan pendek yang warnanya pudar dan celana selutut berbahan longgar, aku pun turun ke lantai satu. Perutku bergemuruh, minta diisi. Pasti sekarang Zeus dan yang lain sudah sarapan. Tidak perlu mencari siapa pun. Tinggal meluncur ke dapur dan makan apa pun yang bisa kuolah di dalam lemari es.

Rumah Papa tidak banyak berubah dari tahun ke tahun. Masih seperti yang kuingat. Dengan mudah kutemukan dapur. Di sana tidak ada siapa pun.

Dapur milik Papa sangat keren. Persis seperti yang ada di televisi. Aku langsung menghampiri lemari es, mencari semua bahan yang kubutuhkan untuk sepiring nasi goreng. Lebih bagus kalau ada mi instan! Itu menu makanan tercepat pengganjal perut. Namun, Papa sedari dulu tidak menyukai makanan yang satu itu. Jadi, aku tidak akan berharap bisa menemukan sebungkus mi rasa ayam bawang.

Potong-memotong, tumis-menumis, dan sepiring nasi goreng telah siap. Aku memilih menikmati sarapan yang terlambat. Seorang diri. Ini jauh lebih baik daripada makanan yang kuterima dari Tante Rasmi. Porsinya besar, berbumbu, dan aku boleh menikmati sebutir telur.

Suapan pertama terasa nikmat. Suapan kedua membuatku meneteskan air mata. Bukan karena rasanya tidak enak, melainkan tanpa bisa kutahan kenangan menyakitkan selama bersama Tante Rasmi mulai menyeruak. Makan seperti budak, dijatah, dan bila kuambil melebihi porsi yang ditentukan ... dia akan mengataiku rakus.

“Siapa kamu?”

Lekas kuseka air mata menggunakan kaus. Kuhadapi si pengganggu yang kini berdiri di depan pintu.

“Asisten baru?”

Bastian. Sama seperti Zeus, dia mewarisi wajah rupawan. Tinggi, berambut sedikit cokelat, hidung mancung tapi tidak terlalu besar, mata tajam, dan kulit bersih. Jelas di keluarga Kusuma hanya aku seorang yang terlihat buruk rupa. Memangnya apa yang bisa diharapkan dari seorang anak yang dipelihara oleh keluarga siluman?

“Bukan,” jawabku dengan tenang.

“Embun?” Dia memperhatikan penampilanku dari atas ke bawah. Perengutan langsung muncul di wajahnya. “Kamu nggak pakai selop?”

Kuperhatikan kedua kakiku yang tidak mengenakan alas kaki apa pun. Haa sandal. Aku lupa. Tapi, apa Bastian tidak akan terkena alergi ketika menyaksikanku mengenakan sandal jelek?

“Nggak,” balasku dengan nada suara yang terdengar seperti tidak memiliki emosi.

“Seharusnya Zeus ngasih tahu kamu harus pakai sandal!”

Itukah yang penting? Sandal? Selop?

“Terus kamu masak sendiri?” Bastian menunjuk piringku. “Apa kamu nggak bisa minta tolong?”

“Bukan masalah besar,” aku menjelaskan. “Aku jago masak. Sudah biasa.”

Maksudku, aku biasa melayani sebuah keluarga. Asisten rumah tangga gratis tanpa gaji dan jaminan keselamatan.

“Zeus!” teriak Bastian yang kini melenggang ke luar, meninggalkan dapur. “Kamu ajarin Embun! Kenapa dia masak sendiri?! Kamu bisa kerja enggak, sih?!”

Konyol sekali diriku di masa lalu. Mengapa aku sempat merasa ketakutan saat berhadapan dengan Bastian? Dia sama sekali tidak menyeramkan. Kalau aku boleh jujur, seperti dalam bahasa Jepang, baka!

(NOT) REVENGE  (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang