“Dengarkan, Embun. Aku nggak paham alasanmu membenciku, tapi kita seharusnya bisa memulai dari awal dengan cara baik.”
Pantang menyerah, jelas. Naoki Kimura memiliki semangat hidup yang bahkan akan membuat Nia jengkel setengah mati. Bukan hanya Nia, melainkan diriku pun ikut kesal. Naoki tetap mengekoriku, dengan langkah tegap dan mantap, seolah mengejar orang yang mengabaikannya bukan masalah besar.
“Apa kamu nggak punya hobi bagus selain menguntit, Mr. Kimura?” ledekku dengan nada suara terlampau jengah. “Kupikir ada banyak gadis cantik di sini yang nggak keberatan meluangkan waktu beberapa menit untukmu. Apa perhatian dari Eva nggak cukup memuaskan bagimu?”
Dalam hidup baru kali ini aku berharap Bastian ada di dekatku. Namun, apa? Dia justru kabur dari kejaran seorang cewek. Pasti ada sesuatu yang tidak beres hingga membuatnya mengambil langkah seribu. Bahkan Zeus pun tidak pernah membuat Bastian bersikap sepengecut ini: meninggalkanku begitu saja. Bagus. Luar biasa. Pasti dia akan mendapat balasan setimpal akibat perbuatan ini, meninggalkanku.
“Bukan itu intinya.”
Aku berhenti tepat di depan sebuah lukisan pemandangan alam. Deretan pohon pinus mengitari sebuah danau. Rerumputan hijau tampak segar dengan hiasan bunga-bunga liar aneka warna. Ada sebuah perahu mungil yang dikendarai oleh sepasang kekasih; seorang pemuda bertopi jerami dan gadis bergaun merah muda. Mereka terlihat menawan seolah sinar matahari mengembuskan kasihnya dan terserap di kulit hingga memancarkan kilau menenangkan.
“Bukan itu intinya,” Nao mengulang ucapannya. “Selama ini aku berusaha mencarimu. Terus mencari sekalipun yang kudapat hanya sia-sia belaka.”
“Jadi, kamu sungguh terbang ke Mesir hanya demi mencariku?”
“Kamu nggak butuh kepastian dari pertanyaanmu, ‘kan? Aku berani taruhan kamu bahkan nggak pengin tahu ...” Sejenak Nao menjeda ucapan yang hendak ia lantunkan. “Apa kamu harus menjauhiku?”
Kualihkan pandanganku dari lukisan. Kutatap wajah Nao. Ekspresi yang ia tunjukkan terasa asing bagiku. Naoki Kimura dalam ingatanku tidak seperti ini. Dia seperti sesuatu yang tidak mungkin terjangkau olehku. Sekeras apa pun usahaku menunjukkan diri kepadanya, berusaha memperkenalkan diri meski mustahil, hanya berbuah penolakan.
Masih jelas dalam ingatanku ketika Nao mengabaikanku demi orang lain. Tidak pernah ada diriku dalam kehidupan Nao. Baginya sosok Embun tidak nyata. Aku hanyalah bagian dari sekian manusia tidak penting yang sempat singgah dalam hidupnya. Bukan untuk dikenang, sekadar dilupakan.
“Apa karena kamu tertarik kepada Biru?”
Mengapa Nao menyeret Biru ke dalam perbincangan tidak penting ini? “Dia pria yang baik dan penyayang,” ucapku dengan jujur. “Nggak aneh kalau aku tertarik kepadanya. Bahkan tanpa campur tangan Nia pun harus kuakui dia sangat menawan. Apa salahnya jatuh hati dengan pria seperti Biru?”
Air muka Nao pun berubah. Bisa kulihat ketegangan tergurat di wajah Nao, ekspresi yang jelas tidak mungkin ada menurutku.
“Aku nggak paham dengan sikapmu,” ucapku pada akhirnya. “Kamu berharap aku menyambut baik kemunculanmu? Apa nggak aneh? Kita hanya pernah bertemu di SMA, itu pun nggak sering. Lantas mengapa kamu ingin dekat denganku dalam tempo waktu pertemuan sesingkat itu? Persis orang yang punya utang budi.”
Naoki diam seribu bahasa. Barangkali apa pun yang tadinya sempat mendiami kepala Nao, lenyap begitu saja.
“Ada Eva,” aku menambahkan, “dia bahkan rela menemuiku demi mendapatkan posisi model Beladona. Kutebak dia melakukan itu semua demi mendapat pengakuan darimu. Apa kamu nggak sayang melepas angsa cantik jelita demi seekor gagak, sepertiku?”
KAMU SEDANG MEMBACA
(NOT) REVENGE (Tamat)
RomanceAku telah mengalami sakitnya pengkhianatan. Orang yang kupercaya sebagai sahabat justru menusukku dari belakang, menghancurkan kepercayaanku, serta membuatku sadar bahwa betapa naif dan dungu pemahamanku perihal manusia. Sekalipun ingin balas dendam...