1

475 45 6
                                    

"Kapan Hali pulang?" 

Pertanyaan itu Gempa lontarkan kala memasuki rumah dan langsung dapat memandang Taufan yang sedang asyik bermain game bersama Blaze di sofa ruang keluarga.

Entah permainan apa itu ia tidak peduli.

Gempa baru saja kembali dari diberi upah oleh tetangga sebelah untuk merapikan berbagai produk di tokonya, mulai dari barang ringan seperti camilan hingga barang berat seperti galon dan gas.

Dengan tubuh kuat nan bugar memungkinkan gempa untuk tidak merasa lelah secepat itu sehingga dapat menyelesaikan pekerjaan sampai semuanya selesai dan rapi.

Itulah kenapa ia kembali seperti orang tanpa beban dan datang tanpa peduli langsung menanyakan ke inti.

Melihat Taufan yang fokus saja seakan tidak mendengarnya lah yang justru menambah bebannya. "Taufan!"

"Itu, besok katanya," jawab santai Taufan tidak ambil pusing. Dia lebih ingin memenangkan permainan sengitnya.

"B-"

"Wah! besok ya?" Tiba-tiba saja suara Thorn terdengar heboh dari arah teras. Ia datang membawa pot bunga yang ia siram tadi.

"Ih Thorn, kotor! Balikin ke teras," minta Gempa tak senang melihatnya.

"Iya. Besok gak nih? Tau darimana?" tanya Thorn berusaha memastikan tanpa menuruti permintaan Gempa langsung. Ia bahkan terlihat tidak mendengar suara Gempa.

"Minggu lalu kan dikasih tau Hali bakal balik besok."

"Akhirnya!" Gembira sudah Thorn mendengar berita itu. Ia segera berlari keluar mengembalikan pot bunganya dengan wajah sumringah. "Yey! Besok ada Hali! Wuhuuu!"

Thorn sudah lama tidak menghabiskan waktu bersama Halilintar, kakaknya yang meskipun terpaksa tetap mau saja menemaninya bermain dengan tanah.

Melihat Thorn yang senang turut membuat Gempa senang. Ia pun kembali memandang mereka yang sibuk sendiri itu dengan malas.  "Jangan lupa dirapikan kalau sudah selesai! Ada Hali besok," minta Gempa yang langsung mereka balas dengan anggukan mengerti.

Gempa pun pergi meninggalkan mereka dan segera memasuki kamarnya. Ia sudah tidak mau berada di luar kamar mulai jam sekarang.

Di sisi lain, Solar yang sedang menyendiri di ruang lab miliknya pun mendengar kabar itu. 

Telinga dengan pendengaran tajam miliknya inilah yang membantunya mendengar dengan seksama.

Mengingat kata besok, Solar tidak tau harus menunjukkan ekspresi senang atau tidak mengingat Hali lah yang paling sering mengunjungi kamarnya dan berbicara dengannya, tetapi Hali juga yang sering menganggu keinginannya untuk sendirian saja.

Ia pun memilih untuk kembali mengerjakan eksperimennya.

"Menambah daun mint dengan lemon ..." terdiam sejenak sebelum kembali membuat seraya berucap, "Seperti mau membuat teh lemon saja." Solar tertawa sendiri membaca resep ramuan yang ada di dalam bukunya. Hasil beragam dengan bahan yang beragam pula.

Sampai ketika ia perlu menambahkan bahan selanjutnya, Solar menyadari kalau ia tidak memilikinya. "Habis?" Ia berusaha mengecek ke berbagai laci yang ia punya, tetapi tidak ada satupun yang menyimpan bahan yang ia inginkan.

"Beli di mana coba sore gini? Nitip sia--" Solar terhenti. Ia menyadari adanya seseorang yang bisa ia andalkan.

Solar pun memandang ponsel yang belum ia gunakan dari pagi tadi. 

Melihat kontak dengan nama Hali membuatnya ingin segera menelepon. Lagipula, sudah seminggu lebih ia tidak melihat ataupun mendengar kabarnya.

Panggilan pertama pun dimulai, tetapi terus bersuara tanpa balasan. Solar tidak masalah, Ia kembali mencoba.

Panggilan kedua terus berdering.

Panggilan seterusnya pun tidak diterima oleh Halilintar. 

"Masa tidak dibalas sih? Awas saja kalau sampai nanti malam tidak telepon balik!" kesal Solar berbicara sendiri, langsung meletakkan ponselnya di atas meja.

Solar pun mengambil buku ensiklopedia yang ada di dalam lacinya dan memilih membaca selama menunggu panggilan. Ia masih berharap Hali memberikan balasan, apalagi karena ini waktu sore di mana sudah bukan waktunya untuk bekerja.

Semakin waktu berlalu, semakin tidak ada tanda-tanda.

Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam dan hingga kini tidak ada balasan di kolom obrolan antar mereka berdua. "Mana sih?" Solar berbicara sendiri, bertanya sendiri. 

Ia pun kesal sendiri.

"Biasanya dia belum tidur jam segini. Yakali berubah pola tidur?" Solar heran sendiri. Namun, pesan yang tak terbalas ini bukan berarti akan membuatnya menyerah dan tidur begitu saja.

Dengan kebiasaan bergadang, sudah biasa bagi Solar untuk berdiam di dalam ruangan tanpa merasakan kantuk yang berlebih.

Dia biasanya akan kelelahan mulai dari pagi hari dan saat itulah ia mengistirahatkan dirinya sejenak. 

Waktu terus berlalu bahkan sampai pagi sekalipun, tidak ada balasan di kolom obrolan mereka.

Memang Solar menghabiskan waktunya dengan membaca dan meminum kopi yang sudah ia persiapkan, tetapi ia benar-benar bisa merasakan tak enak dari menunggu kabarnya.

Melihatnya kosong membuat bosan dan membuatnya menjadi lebih cepat mengantuk.

"Pokoknya aku nitip ini. Jumpa nanti!" Itulah pesan yang Solar tinggalkan di dalam kolom obrolan mereka pagi ini, sebelum menutup wajahnya dengan buku dan perlahan tertidur di dalam labnya.

Di luar, tepatnya di teras rumah, Taufan terlihat sedang mencari angin alami di pagi hari yang cerah ini. Mengingat akan bertemu dengan Halilintar membuatnya tidak ingin terlihat malas dengan bermain game dari pagi.

Sederhananya, jaga image.

"Segarnya," ucap Taufan menutup mata merasakan angin sepoi menerjang wajahnya.

Thorn memperhatikan tingkah Taufan dengan tatapan sinis dan berbalik mengurusi tanamannya sembari berucap, "Taufan aneh." 

Ingin sekali Taufan memukul Thorn saat itu juga andai ia tidak menganggap ucapannya sebagai asbun saja.

"Jam berapa ya Hali pulang? Bawa oleh-oleh gak ya?" tanya Thorn mencoba menebak-nebak seraya menyiram air pada pot bunganya satu-persatu, memastikan tidak ada yang terlewat.

Setelah semuanya selesai, ia pun menoleh pada Taufan yang masih bersenang diri di depan teras dan berteriak, "Taufan jelek!" 

Rusak sudah konsentrasi Taufan di pagi ini ulah Thorn yang sedang di fase nakal-nakalnya. "Kau lebih jelek!" teriaknya kesal, telah membuka kedua matanya.

Taufan tidak lagi merasakan kesegaran di pagi hari ulahnya. 

"Sabar," ucap Blaze berbicara dari belakang. "Makin gak sabar, makin gak makan, makin sakit!" teriaknya memukul punggung Taufan kasar tanpa maksud apapun dan langsung berlari dengan senang ria tanpa mempedulikan Taufan yang sudah kehabisan kesabaran. 

"SINI KAU, BLAZE!" teriak Taufan berlari mengejarnya dengan kesal. Habis sudah rumah diisi oleh suara kemarahan dan kepanikan antar mereka berdua.

Thorn yang melihat malah tertawa. Ia senang melihat mereka berdua ribut. "Ikut~!"seru Thorn mengejar Blaze dari belakang sembari meloncat-loncat. "Ahaha kejar Blaze, Taufan! Kejar~!" 

Entah Gempa harus memberikan reaksi apa melihat kehebohan mereka di pagi buta. Ia memilih memeriksa ponsel manakala ada tetangga yang butuh jasanya sembari memakan roti selai miliknya.

Bukannya mendapat pesan dari siapapun, Gempa malah disuguhkan dengan kehadiran Ice yang menguap seraya mendekati kulkas. Ini kali pertama setelah seharian Ice berdiam di kamarnya.

Ia mengambil sebotol susu dan langsung diminum habis saat itu juga.

Ice bahkan tidak bereaksi dengan suara di sekitarnya. Ia malah tertarik pada roti yang Gempa makan sehingga berucap, "Aku mau juga, tiga."

Tidak habis pikir Gempa melihatnya.








My Unread MessagesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang