4

230 40 7
                                    

"Berhenti menangisi dia, Solar," minta Ice sedari tadi sudah berusaha keras untuk menenangkan Solar.

Ice tidak bisa mendatangi kamar Solar karena terkunci rapat. Ia pun bisa saja langsung ditarik ke ruang makan jika keluar dari kamarnya.

Solar sendiri terus menangis tak bersuara sembari meringkuk di lantai.

"Kemana Solar yang ku kenal? Kemana ketenangan itu pergi? Kemana si narsis itu?" tanya Ice merindukan Solar yang biasanya bahagia saja. "Semua orang di kota tau betul kau tid-"

"Berhenti mencampuri urusanku," minta Solar mengusap air matanya.

"Aku begini karena aku pe--"

"Pembohong! Kau tidak pernah peduli padaku!" teriak Solar tidak terima. Ia tau pasti siapa yang selalu ada di sisinya selama ini. Siapa yang sebenarnya peduli dengannya.

"Aku--"

"Tidak ada yang peduli padaku. Satu-satunya orang yang merangkul ku pun sudah mati. Itukan yang kau harapkan?!"

Ice terdiam tak bisa membalas. Solar sudah dibutakan oleh rasa rindu. Ia tidak mendengar langsung dari pihak perusahaan sehingga ia terus saja tidak terima fakta.

Solar benar-benar merasa sakit hati mengingat apa yang ia selama ini rasakan.

Ice memang sadar dan merasa bersalah karena terlambat ada ketika dibutuhkan.

Ia tidak pernah terlihat peduli pada mereka.

Meski begitu, Ice tetap tidak terima jika Solar menangis karena dia. 

"Apa Solar tau kalau orang yang merangkul Solar justru yang menjatuhkan kami semua? Kami bersusah payah mencari uang demi membayar hutang Hali yang ia tinggal kabur. Jumlahnya tidak sedikit," ucap Ice memberikan penjelasan dari arah mereka.

Solar juga perlu tau betapa tidak pedulinya Hali kepada semuanya.

"Kami kekurangan bi-"

Solar sontak berdiri dari duduknya. "Uang dan usaha yang kalian hasilkan tidak sebanding dengan jerih payah Hali selama bertahun-tahun ini!" tegas Solar seraya memandang benci pada Ice yang dianggap berbicara omong kosong.

Solar berdiri dari posisi sebelumnya. Ia berjalan memasuki ruang lab nya dan menghempas pintu penghubung antar ruangan itu.

Solar sudah tak mau melihat wajahnya lagi.

"Aku harap kau segera melupakannya, Solar. Bagaimanapun juga, dia yang terburuk."

Ice perlahan berdiri. 

Ice bergerak meminum air untuk menenangkan dirinya dan memilih beristirahat agar ia tidak kehilangan kendalinya lagi.

Baginya, kebutuhan tidur adalah yang terpenting. 

Setelah berbagai peristiwa tidak mengenakkan, Solar sudah mulai bisa keluar dari kamar lagi. Meski begitu, ia tetap tidak ingin berbicara dengan mereka.

Ice menebak, bisa jadi ada perasaan tidak terima yang belum bisa Solar sadari.

Beberapa minggu setelahnya, suasana rumah pun semakin segar. Kondisi perlahan membaik secara keseluruhan.

Taufan, Blaze, dan Thorn sering menghabiskan waktu bersama. Entah bermain, mengitari kota, dan lain sebagainya.

Ice yang sebagian besar kehidupannya dihabiskan dengan beristirahat kini mulai terus mencoba berinteraksi lebih banyak dengan mereka.

ia ingin mencari angin segar.

"Mereka sepertinya makin dekat saja ya," ucap Gempa tersenyum melihat ketiga saudaranya bermain dengan senang hati.

My Unread MessagesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang