Bagian XVII

1.1K 111 14
                                    

"Tegakkan kepalamu tinggi-tinggi, sayang," celetuk Ratu Irene, senyum ramah terlihat di bibirnya saat ia menerima pandangan orang-orang sekitar dengan memberikan anggukan kecil.

"Dan tersenyumlah," timpal Permaisuri, meraih lengan Wonwoo dan melingkarkan dilengangnya.

"Aku sudah senyum, kok." Balas Wonwoo, mencoba berpura-pura tak melihat cibiran di wajah orang-orang saat mereka berpaling untuk berbisik atau lebih buruk lagi, mencibir. Wonwoo tak menyangka akan seburuk ini. Rasanya semua orang di ballroom tampak melongo melihatnya, seolah-olah Wonwoo telah tumbuh besar dalam semalam. Mungkin Jeonghan benar dan seharusnya Wonwoo tetap tinggal di rumah.

"Tersenyumlah dengan sungguh-sungguh," ujar sang Permaisuri; Ibu, menuntunnya masuk ke dalam kamar mandi sementara sang Ratu tetap berada di belakang untuk berbicara dengan kerabat yang lain.

Wonwoo sudah berusaha. Namun sulit untuk tetap tersenyum tulus di wajahnya saat teman-temannya pun menjaga jarak darinya sekarang, seakan mereka takut menjadi bahan tertawaan jika mereka bergaul dengan Wonwoo di depan umum.

Mungkin mereka bukan teman-temannya.

"Mamah tidak perlu mengasuhku, Ma," bisiknya namun dengan senyum lebar yang masih melukai pipinya. "Aku tahu Mamah dan Ibu ingin berbicara dengan beberapa politisi. Pergi... Aku bisa kok mengurus diriku sendiri."

"Aku tidak akan pergi ke mana-mana," kata Permaisuri Ratu, mengangguk dengan sopan kepada orang-orang yang membungkuk padanya. "Istriku tidak membutuhkanku. Tapi anakku sebaliknya." Ketegangan yang nyaris samar tak terlihat muncul di matanya. "Kalau kami tahu akan berakhir seperti ini, kami tidak akan pernah memberikan bantuan kepada keluarga Kerajaan Kedua untuk setuju menikahkanmu dengan pewaris mereka. Ibumu tidak berbelit-belit ketika berbicara dengan Ratu Jihyo kemarin."

Wonwoo menahan rasa sakit. "Bu, aku sudah bilang pada kalian berdua kalau aku senang Mingyu melakukannya— karena itu juga yang kuinginkan. Aku bahkan tidak marah."

"Benar," katanya, suaranya seperti baja meskipun sang Ibu tersenyum. "Aku boleh marah atas nama anakku. Aku bersumpah kalau aku bertemu Kim Mingyu, aku akan memberitahunya apa yang kupikirkan tentang pria itu yang tidak tahu berterima kasih, egois, dan tidak layak—"

Wonwoo menyadari jika ibunya masih mengomel, tapi perhatiannya kini tertuju pada wanita di ujung lain ballroom.

Leylen.

Gadis cantik itu tampak berseri-seri, senyumnya sangat menyilaukan saat ia tertawa dengan temannya ketika menceritakan sesuatu. Senyumnya sedikit membeku ketika Leylen melihat Wonwoo. Tampang memelas di matanya— yang sangat mirip dengan rasa kasihan.

Emosi membara seketika memenuhi dada Wonwoo. Ia tak ingin dikasihani. Leylen-lah yang seharusnya dikasihani, bukan Wonwoo. Wonwoo baik-baik saja. Wonwoo bebas. Wonwoo bahagia. Wonwoo—

"Sayang," panggil ibunya dengan lembut. "...kamu menyakiti tangan Ibu."

"Maaf, Bu." Celetuk Wonwoo kikuk, segera ia melonggarkan genggamannya pada lengan ibunya dan tersenyum lagi. Wonwoo mengabaikan tatapan yang masih setia dilontarkan orang-orang di sekitarnya dan Leylen, dan mencoba mengabaikan bisikan-bisikan, yang sejujurnya lebih sulit dilakukan karena inderanya yang kian menajam.

"...apa kau sudah dengar? Skandal yang sangat menyenangkan!"

"Mereka bilang Kim Mingyu ingin menyingkirkannya agar bisa menikahi Leylen."

"Jadi dengan tunangan adiknya sendiri!"

"Leylen sangat cantik."

"Begitu juga Jeon Wonwoo, sebenarnya."

[✓] That Irresistible Poison (MEANIE Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang