Bab 2. Opsi Bertahan hidup

9.6K 589 15
                                    

Karena sudah terlanjur masuk ke dalam novel, mau tidak mau Rhea harus menerimanya. Agar Rhea bisa bertahan hidup di dunia antah berantah ini, ia merancang beberapa rencana. Ia menulisnya disebuah kertas yang terbuat dari serat kayu, dengan pena bulu angsa sebagai alat tulisnya. Awalnya, Rhea sedikit kesusahan menulis menggunakan pena bulu, karena sudah terbiasa menggunakan bolpoin di dunia modern.

Rhea menulis 2 opsi.

1. Rampok harta Arthur, kalau bisa semuanya. Kabur dari negeri ini, lalu nikmati hidup di pedesaan terpencil.

2. Buat Arthur jatuh cinta pada Bianca. Jauhkan Arthur dari Evelyn, sang tokoh utama.

Rhea mengetuk-ngetuk dagunya. "Opsi kedua susah sih, jadi AYO RAMPOK SELURUH HARTA ARTHUR!!"

Rhea cekikikan sendiri. "Hohoho, kau memang pandai Rhea," pujinya pada diri sendiri sembari mengibaskan rambut panjangnya.

Menyadari sesuatu, Rhea memanggil pelayan pribadinya. "Emi!" teriaknya. Sedangkan sang empu yang namanya dipanggil, berlari tergopoh-gopoh menghampiri majikannya.

Melihat pelayannya sudah datang, Rhea menanyakan sesuatu yang penting kepadanya. "Emi, sekarang tanggal berapa?" Emi terlihat kebingungan, apakah majikannya ini lupa ingatan atau bagaimana? Padahal terpampang jelas kalender di dinding sebelah pintu kamar Bianca.

Emi tersenyum lalu menjawab, "Duchess, kalender tepat di sebelah pintu kamar anda. Tanggal terakhir yang sudah dilingkari, adalah tepat hari ini."

Sedangkan Rhea merutuki dirinya sendiri, akh kenapa ia tidak melihat kalender disana?

Rhea berdehem singkat, berusaha menghilangkan rasa malunya. "Em, terimakasih Emi. Sekarang siapkan air hangat untukku, aku ingin segera mandi."

"Baik Duchess."

Melihat pelayannya sudah pergi, Rhea mengumpat pelan. "Kok lo goblok banget sih Rhea."

Dari arah belakang, seseorang mengagetkannya. "Bisakah kau berhenti mengganggu putra mahkota?" ujar orang tersebut yang terdengar kesal. Rhea membalikkan tubuhnya menghadap ke arah belakang. Terlihat seorang pria tampan sedang memandangnya sangat tajam, sampai-sampai Rhea merasa merinding.

Tapi tunggu dulu, ada yang lebih penting dari itu. Hey lihatlah wajahnya yang tampan serta hidungnya yang mancung. Oh jangan lupakan badannya yang terlihat sangat kekar, 'pasti enak buat dipeluk,' batin Rhea.

Melihat Bianca yang malah berbinar sembari memandangnya tanpa berkedip, Arthur merasa sedikit aneh. Apakah Bianca sedang kerasukan roh penunggu kastil?

Rhea kemudian menyadari bahwa dirinya terlihat sangat aneh di depan pria ini. "Akh ma-" Belum sempat menyelesaikan ucapannya, suara Emi sudah menginterupsinya.

"Duchess, air hangat sudah siap."

"Tuan, bisakah anda keluar dari sini?" pinta Rhea.

"Kau mengusirku?" desis Arthur.

"Apakah anda adalah seorang pengawal? atau asisten Duke Arthur? Sangat tidak sopan! Aku majikanmu jadi pergilah dari sini." Rhea mendorong Arthur keluar, lalu menutup pintu dengan sedikit keras.

"Ayo Emi, aku ingin berendam untuk menghilangkan beban yang ada di pikiranku ini," ajak Rhea.

Di sisi lain, Arthur keluar dari kamar Bianca disertai kebingungan yang melanda pikirannya. Tapi ia lebih memilih melupakan hal ini, mungkin Bianca memang sedang kerasukan roh penunggu kastil.

***

Rhea duduk di depan meja rias, dirinya sedang di dandani oleh Emi.

"Sudah selesai Duchess, ah anda terlihat sangat cantik," puji Emi sedangkan sang empu yang dipuji mendadak menjadi besar kepala.

Rhea mengenakan gaun panjang merah marun strapless dari satin yang berkilau, dengan ikatan di pinggang untuk menonjolkan siluetnya. Ia melengkapi penampilannya dengan anting-anting berlian kecil, gelang perak, dan heels hitam ramping. Rambutnya diikat, serta lipstik berwarna merah yang menghiasi bibirnya.

"Terimakasih Emi, aku memang cantik sejak lahir."

"Duchess, apakah anda ingin sarapan di meja makan bersama Duke?" tanya Emi.

Rhea terlihat menimang-nimang tawaran Emi, 'hmm tidak buruk aku bisa melihat wajah Duke, setampan apakah dia?' batin Rhea.

"Antar aku ke ruang meja makan Emi," pintanya pada Emi.

Mereka mulai menuruni anak tangga, lalu sampai di ruang meja makan. Di sana hanya ada pria aneh tadi yang sedang duduk di depan makanan yang dihidangkan oleh para koki. Jangan bilang pria aneh itu adalah Arthur!

Rhea berbisik kepada Emi, "seseorang yang sedang duduk di sana, apakah itu adalah Arthur?"

Aneh sekali, bahkan majikannya tidak mengenal suaminya sendiri. Apakah kepala majikannya terbentur sesuatu, hingga menjadi lupa ingatan?

"Anda benar Duchess, yang sedang duduk di sana adalah tuan Duke," jawab Emi berbisik. Mata Rhea tiba-tiba membola.

"Apakah kau akan berbisik-bisik dengan pelayan pribadimu sampai jam makan siang?" sarkas Arthur.

Rhea berjalan dengan kikuk ke arah meja makan. Ternyata pria aneh di depannya ini adalah suaminya, ah ralat suami Bianca.

Mereka memulai sarapan dengan hikmat, tanpa ada obrolan sebagai selingannya.

Setelah selesai menyantap makanan di depannya, Arthur memulai pembicaraan penting yang tadi hendak ia sampaikan.

"Satu minggu lagi adalah pernikahan putra mahkota, dan kita diundang untuk menghadiri pesta itu. Ku harap kau tidak berusaha menghancurkannya," ujar Arthur.

Rhea melongo, ternyata sudah sejauh ini alur novel berlangsung? berarti hanya tinggal sedikit waktu untuk melaksanakan rencananya.

"Jangan membuka mulutmu terlalu lebar atau lalat akan masuk ke dalamnya." Rhea merasa tersindir dengan perkataan Arthur, ia berdehem pelan menghilangkan rasa malunya.

"Baiklah, aku berjanji tidak akan mengacaukan pesta pernikahan putra mahkota."

"Bagus," puji Arthur, setelah sekian lama akhirnya Bianca menjadi penurut juga. "Aku sudah menyiapkan gaun untukmu, untuk dibawa ke pesta pernikahan putra mahkota," lanjut Arthur.

Rhea memekik dalam hati, lihatlah! pria ini sangatlah peka. Jika sudah begini, ia tidak perlu repot-repot membeli gaun ke pasar yang sudah pasti harus berdesakan dengan orang-orang.

"Terimakasih," ujar Rhea seraya tersenyum manis. Arthur tertegun melihat senyuman Bianca, baru kali ini ia melihat Bianca tersenyum tulus kepadanya.

Arthur menetralkan detak jantungnya yang tadi berdetak sangat kencang. "Ya," jawab Arthur sekenanya. Arthur meninggalkan ruang makan dengan wajah yang bersemu merah. Sedangkan Rhea hanya mengedikan bahunya.

Jack, asisten pribadi Arthur yang melihat tuannya masuk ke dalam ruang kerja dengan wajah merah merasa khawatir.

"Tuan Duke, apakah anda sedang sakit?" tanya Jack.

"Tidak," jawaban dingin keluar dari mulut Arthur.

Lihatlah majikannya ini, padahal ia sudah sangat perhatian dengan menanyakan keadaannya, harusnya Arthur menjawab pertanyaan jack sedikit lebih panjang.

Tbc.

Holaaa, janlup pencet tanda bintang di sebelah kiri bagian bawah ya!

Melintasi Garis Waktu (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang