Bab 12. Phobia petir?

4.7K 309 8
                                    

Selamat membaca!
Janlup tekan tanda bintang di sebelah kiri bagian bawah ya!

***

Malam Puncak menjadi momen yang sangat dinanti-nantikan oleh semua pengunjung. Ketika matahari mulai tenggelam di ufuk barat, langit berubah menjadi kanvas yang dipenuhi dengan warna-warna orange dan ungu yang mempesona.

Alun-alun kota yang luas dan lapang menjadi sorotan utama, diterangi oleh lampu-lampu berwarna yang tersusun rapi di sepanjang jalan-jalan dan bangunan-bangunan di sekitarnya.

Saat malam semakin larut, suasana semakin memuncak dengan dimulainya pertunjukan kembang api yang spektakuler. Kembang api yang berkobar-kobar menghiasi langit malam dengan gemerlapnya, membentuk pola-pola yang indah dan mempesona. Suara gemuruh kembang api menggema di sekitar alun-alun kota.

Di tengah keriuhan dan kegemparan malam puncak, dua sosok sejoli terlihat seakan menyinari gelapnya malam dengan kehadiran mereka. Seakan ada magnet yang menarik perhatian semua orang ke arah mereka. Mereka adalah..., putra mahkota kerajaan Lysdor dan istrinya, Evelyn.

Di bawah cahaya berwarna-warni dan gemerlapnya kembang api, kedua sosok yang saling bergandengan tangan itu berdiri dengan penuh kekaguman. Mereka memandang langit yang dipenuhi dengan percikan cahaya yang mempesona, sambil tetap berpegangan erat satu sama lain. Senyum yang merekah terpancar di wajah mereka, mencerminkan kebahagiaan yang tak terkira.

Sedangkan di sisi lain, seseorang tengah memandang mereka dengan sendu.

Rhea yang melihat Arthur menjadi lebih pendiam tak seperti biasanya, menjadi heran.

“Duke?” panggil Rhea.

Arthur tidak bergeming.

Rhea memandang ke arah tatapan mata Arthur. Ah pantas saja! Arthur sedang melihat Evelyn dan suaminya ya? Ck ck ck, sejak kapan si menyebalkan Arthur menjadi sad boy?

Dari sini kita belajar, cinta tak selamanya indah.

“Woy jamet,” teriak Rhea tepat di telinga Arthur, membuat sang empu kaget bukan main.

“Apa?” tanya Arthur dengan nada judes disertai dengan tatapan yang tajam. Setajam silet.

Rhea berpura-pura menguap. “Ayo pulang, aku sudah sangat mengantuk,” ujarnya.

“Ayo.”

***

Rhea merebahkan tubuhnya ke atas kasur, merasakan kelelahan yang begitu menyelimuti dirinya. Dengan mata yang terpejam rapat, dia berusaha untuk sejenak merenggangkan otot-ototnya yang tegang. Namun, sebelum dia sadar, kesadarannya lenyap. Rhea terlelap tanpa bisa membersihkan dirinya terlebih dahulu.

Tepat ketika jam menunjukkan pukul 12 malam, Rhea terbangun dengan nafas yang tersengal-sengal. Suasana malam menjadi semakin mencekam, terutama dengan suara hujan yang mengguyur di luar disertai petir yang menyambar-nyambar. Meskipun demikian, Rhea merasa bersyukur karena tidak memiliki phobia terhadap suara petir.

“Ah, sial! Mimpi itu lagi,” gumam Rhea, mencoba mengusir bayang-bayang mimpi yang menghantuinya. Dalam gelap yang menyelimutinya, Rhea mencoba menenangkan diri, siap untuk menghadapi malam yang penuh ketegangan ini.

Brak

Pintu kamar Rhea dibuka secara paksa oleh seseorang, tidak! Orang itu mendekat ke arahnya. Perawakannya seperti seorang pria.

Pria itu langsung memeluk Rhea dengan sangat erat. Arthur? Apakah pria yang memeluknya adalah Arthur?

“Arthur?” panggil Rhea memastikan.

“Bianca, suara petir itu terasa sangat menakutkan,” rengek Arthur.

Ah iya! Rhea baru mengingat sesuatu, di dalam novel, Arthur dikatakan memiliki phobia pada suara petir. Namun, tidak diceritakan secara detail mengapa Arthur memiliki phobia ini.

Rhea tersenyum, ia mengelus surai Arthur dengan penuh kasih sayang. Layaknya seorang ibu yang sedang menenangkan anaknya, Rhea jadi teringat akan ibunya. Rani selalu mengelusnya seperti ini setiap Rhea memiliki masalah.

“Ssh,” desis Arthur.

“Tidak apa, aku disini.” Perlahan, terasa hembusan nafas terakhir dari Arthur. Eh nggak bercanda.

Terasa hembusan nafas teratur dari Arthur. Pria itu..., terlelap di pelukan hangat Rhea.

Rhea kembali teringat sesuatu. Kenapa otaknya sangat lancar ketika malam hari?

Seseorang yang membantai kediaman ayahnya memiliki manik mata hijau. Manik mata itu, sama seperti Duke Blanchard. Hanya keluarga Blanchard saja yang memiliki netra hijau.

Apakah Duke Blanchard adalah dalang dari pembantaian keluarga Count Beaumont?

Bersambung...

Bonus foto fajar sadboy

Hai,
apa kabar kalian?

Bagaimana tanggapan kalian soal bab ini?

Melintasi Garis Waktu (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang