11

372 40 2
                                    

"Lo belajar gak?"

"Gak."

"Bohong lu, empang."

Chenle hanya tertawa kecil, sementara Haechan merengut kesal. Pemuda itu membolak-balikkan bukunya dengan bar-bar. "Hih, banyak banget sih yang harus dihafalin."

"Gak usah dihafalin, Chan. Cukup dipahami saja.

"Ya harus, biar nilai gue membaik sedikit paling gak. Dihafalin aja belum tentu gue bisa, mohon pahami otak gue yang setengah ini."

Chenle mengulum bibirnya, tak menjawab ucapan Haechan sebab lidahnya mendadak kelu. Pemuda itu menghela napasnya, kemudian menatap papan tulis yang sudah penuh dengan rumus matematika.

"Gak selamanya orang pintar itu bernasib baik, Chan," ucap Chenle tiba-tiba.

"Hah, maksud lo? Oh, Jisung ya? Itu mah gak ada hubungannya sama orang pinter, dia emang nasibnya sial aja," balas Haechan tak begitu peduli. Chenle hanya tertawa miris dalam hati.

Sial ya?

Hmm..

"Gue gak tahan sama diskriminasi sekolah ini." Haechan berujar. "Jadi gue harus berusaha."

"Bukannya elo orang yang bodo amatan ya soal nilai?"

"Iya, tapi kali ini gak. Setelah dipikir-pikir, siapa tahu gue pinter cuman pemalas aja, ya gak?"

"Mana ada." Chenle mendengus. Netra matanya tak bisa lepas dari papan tulis, dirinya gelisah. Foto yang ditunjukkan oleh sang polisi, tulisan dengan darah itu, terus hinggap di kepala Chenle.

Chenle benar-benar tak mengerti.

Apa Jisung dibunuh hanya karena peringkat 1? Sungguh hanya karena itu?

"Lo ada di pihak Jeno ya?" tanya Chenle tiba-tiba. Haechan meliriknya. "Maksudnya?"

"Ya gue ngelihat kalau lo condong ke satu sisi aja, yaitu Jeno." Chenle mengendikan bahunya acuh.

"Sebenernya bukan gue berpihak sih. Mark aja yang selalu mancing emosi gue, jadi kelihatannya begitu."

Chenle manggut-manggut saja.

Kalau begini, siapa yang salah?

"Eh iya, waktu itu sebenernya gue berencana berangkat pagi," ucap Haechan tiba-tiba.

"Serius?"

"Iya."

"Kok gak jadi?"

"Gue waktu itu diajak Mark berantem adu jotos pagi-pagi, tapi gak tahu kenapa malamnya dia telepon gue dan bilang gak jadi. Ya alhasil, gue gak jadi berangkat pagi," cerita Haechan nampak meyakinkan. Chenle mengernyit, Mark memang mencurigakan sih.. tapi sepertinya pemuda itu tak punya dendam pada siapapun dan terobsesi dengan nilai. Ya, paling ia sering menyudutkan Jeno saja.

"Eh tapi ini gue gak bilang Mark pelakunya loh ya," klarifikasi Haechan cepat. "Nanti gue dibilang adu domba lagi."

"Chan."

"Hmm?"

"Kayaknya untuk saat ini.. jangan bahas apapun soal masalah Jisung deh."

Sekarang gantian Haechan yang mengernyit, Chenle tiba-tiba terlihat cemas.

"Kenapa?"

"Gue takut pembunuhnya ada di kelas ini."












































































The Smartest ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang