bab 29

4 1 0
                                    

Di tengah siang yang panas di taman sekolah yang sunyi, aku marah dan menarik Aerol, menjewer telinganya sampai memerah. Meskipun dia masih merasakan sakit, anehnya, itu membuatku senang.

Setelah kami menemukan sudut yang sepi di taman sekolah, aku melepaskan cengkeraman tanganku. Aerol langsung menggosok-gosok telinganya yang merah.

"Hei! Kau berani-beraninya—!!"

"Apa?! Mau bilang apa?!" potongku tajam. "Kau bodoh atau apa sih?!  Bagaimana bisa kau menyamar sebagai Mark di depan Val? Apalagi baru saja kau pura-pura jadi Val kemarin!" seruku, dengan emosi yang tetap terkendali.

Aerol hanya mengkerutkan bibirnya tanpa menjawab.

"Beruntung Mark tidak ada di sini. Kalau dia ada, pasti akan marah. Lagipula, sepertinya dia tidak suka padamu," lanjutku.

"Tenanglah, Avael tidak akan membunuhku. Kita berdua punya hubungan dengan kematian, jadi dia tidak akan bisa menyakiti aku. Selain itu, aku satu-satunya Dewa Kematian di dunia ini," jawab Aerol, dengan percaya diri yang tidak surut.

Aku sekali lagi mengernyitkan dahiku. Kelopak mataku berdenyut saking kesalnya dengan makhluk yang satu ini.

"Dengar, jangan pernah menyamar sebagai siapapun yang ku kenal di sekolah ini. Kau tahu apa yang kau perbuat kemarin? Satu sekolah mengira ada peniru yang memakai topeng silikon!" kataku membual, tentu saja itu hanya asumsi Val. Walau itu alasan yang cenderung masuk akal.

"Ah, iya, iya, baiklah," ujar Aerol dengan nada setengah pasrah, sambil terus meringis dan mengusap telinganya yang memerah. "Kau tak perlu begitu kasar," bisiknya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Tapi aku bisa mendengar itu.

"Kalau kau seperti ini lagi, bukan hanya telingamu yang kujewer tapi akan kupotong," ujarku dengan nada mengancam. Mataku menyala tajam, menembus kebohongan yang coba ia sembunyikan.

Ruangan itu seketika menjadi sunyi, hanya terdengar detak jantung Aerol yang semakin cepat, seolah waktu berhenti di tengah ketegangan. Aku berdiri lebih dekat, membuat bayanganku menutupi tubuhnya yang gemetar. "Kau mengerti, kan?"

Aerol mengangguk lemah, rasa takut terlihat jelas di matanya. "Aku mengerti," suaranya nyaris berbisik, penuh kepasrahan dan ketakutan. Kami berdiri di tengah taman sekolah yang luas, di bawah terik matahari siang yang menyengat. Suara gemerisik dedaunan yang tertiup angin terdengar lembut, seolah-olah berusaha meredakan ketegangan yang menggantung di udara.

Aku mundur selangkah, membiarkan suasana dingin menyelimuti kami meski matahari memancarkan cahayanya dengan garang. Beberapa siswa lain tampak dari kejauhan, bermain dan tertawa, tak menyadari drama yang baru saja terjadi di antara pepohonan rindang ini.

"Bagus," kataku akhirnya, mengendurkan sedikit ketegangan di wajahku. "Ingat, ini peringatan terakhir." Aku berbalik, berjalan menjauh dari Aerol yang masih terpaku di tempatnya, terhuyung-huyung mencoba menenangkan diri.

Namun, baru beberapa langkah, aku mendengar suara Aerol yang kembali dengan nada sengaknya yang khas. "Kau pikir kau bisa menakutiku selamanya?" katanya, suaranya penuh dengan kepercayaan diri yang baru saja kubuat goyah. Dia mengusap telinganya sekali lagi, senyum licik mulai menghiasi wajahnya yang masih memerah.

Aku berhenti, menolehkan kepala sedikit tanpa benar-benar memutar tubuh. "Aku tidak perlu menakutimu selamanya, Aerol," jawabku tenang, meski hatiku masih bergejolak. "Cukup sampai kau belajar bahwa ada konsekuensi untuk setiap tindakanmu."

Dia menyipitkan mata, mencoba menilai apakah ancamanku serius. Aku bisa melihat kebingungan dan kemarahan yang saling bertarung dalam dirinya. Angin siang yang panas dan suara ceria anak-anak di sekitar kami tak mampu meredakan ketegangan yang kembali merambat di antara kami.

Suddenly I've Become My MasterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang