Kembali lagi aku ke tempat paling membosankan yang pernah ada, sekolah. Biasanya setiap hari aku hanya berselonjor sambil membersihkan bulu-bulu di sekujur tubuhku dan aku tak pernah bosan dengan itu. Tak kusangka menjadi manusia ternyata semembosankan ini, ditambah dengan tuntutan yang membuat otakku berpikir lebih keras dan rasanya seperti ingin meledak.
Langkah pertamaku ketika menuruni mobil adalah dibarengi dengan napas yang super malas. Aku merunduk, menatap Ayah yang tersenyum dan melambai padaku dengan senyum cerianya.
Aku membalas dengan senyuman tipis, kemudian melihat Ayah pergi dan menghilang di sebuah tikungan.
Lagi-lagi, beberapa murid terutama siswi menatapku dengan sinis dan kembali berdesas-desus. Bisikan yang bercampur itu membuat telingaku sakit. Buru-buru aku segera melangkahkan kaki menuju kelas.
Setibanya aku ke kelas, aku melihat Susi sudah berada di kursinya—tepat disamping kursiku—dan ia hanya menunduk. Sedangkan wanita berbandana merah, Jessie bersedekap dengan tatapan tak suka kepadaku. Aku masih heran, apa dia tak bosan memakai bandana dengan warna sama setiap hari? Aku saja yang melihatnya sudah sangat muak.
Aku melengos, melewati para murid yang sebagian besar masih menatapku.
"Hai, Susi," sapaku pada remaja itu. Ia mendongak, kaca matanya terlihat retak. "Ada ada dengan kaca matamu?"
"Oh, ini, t-tadi ini tak sengaja terjatuh. Jadi aku pakai saja sampai kelas selesai karena aku tak bisa melihat jika aku tak memakai kaca mata," jawab Susi dengan nada yang mencurigakan, sepertinya ia menyembunyikan sesuatu dibalik suaranya.
"Oh, begitu?" kataku sembari menarik bangku dan duduk. "Apa kau yakin itu karena terjatuh?" Aku lalu memicingkan mata pada sekelompok orang yang bersama Jessie.
Susi mengangguk cepat, "Oh, iya. Apa kau tak apa-apa?" katanya kemudian.
"Memangnya aku kenapa?"
"Semua orang memperhatikanmu dengan tatapan seperti itu, pasti karena pertandingan kemarin."
Aku terkekeh, "Mereka orang-orang tidak jelas. Seenaknya bertaruh sepihak. Lagi juga aku tak peduli dengan mereka."
"Apalagi saat Val memenangkan pertandingan, yang artinya David akan berkencan denganmu."
"David? David siapa?" tanyaku spontan, dan lalu aku teringat kilas balik kemarin. "OH!" seruku, "David yang itu? yang si anak dingin itu?" ujarku setelah ingatan itu menjelas di pikiranku.
Susi hanya mengangguk dengan wajah tegang.
"Siapa peduli? Aku tak kenal dengan dia."
Susi seketika senyap dan mengalihkan tubuh, mengeluarkan beberapa buku dari dalam tasnya.
Ada apa, sih? batinku berkata. Aku merasakan atmosfer kelas yang nampak lebih suram dibanding saat kabar tentang kematian Arshea yang kembali hidup menyebar.
Kelas pun dimulai, saat itu guru sedang menjelaskan materi pelajaran yang sama sekali tak aku tahu darimana awal mulanya. Sambil terkantuk-kantuk, aku beberapa kali menguap selama pelajaran berlangsung.
"Arshea?" ujar si guru yang nampak menatap ke arahku, tentu saja aku mendengar. Aku hanya mengantuk, bukannya melamun.
"Ya?" Aku berdiri. Kulihat semua perhatian tertuju padaku.
"Coba kau jelaskan apa maksud dari pernyataan yang ada dihalaman 30?" tanyanya padaku. Aku menunduk, membuka halaman 30. Tetapi, aku tak melihat pernyataan yang dimaksud.
Aku hening sejenak, lalu Susi menulis sesuatu. Sebuah kalimat yang ia lingkari, seakan ia memberi petunjuk padaku. Aku pun membaca dan mencari pernyataan yang dilingkari oleh Susi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suddenly I've Become My Master
FantastikSetelah insiden bunuh diri itu, majikanku terbaring koma dan meninggal. Aku, sebagai kucing peliharaanya, tidak tega melihat majikanku tertidur dengan begitu pulasnya di peti mati yang berukir warna emas. Aku melihat sosok tampan dengan sayap dan ju...