.
.
.
.
.
.
"Huaaaaa, balikin mainannya, Ine." Terdengar suara tangisan di dalam rumah tingkat dua itu.
Ya, sehabis melihat kondisi abangnya yang tidak memungkinkan untuk ditinggal di kantor, mereka bertiga memutuskan untuk membawa pulang abangnya.
Mau tau, gimana cara bawa pulangnya? Oke, biar gue ceritain.
----
"Bang, kok lo manggil bang Malik kak?" Ujar Daniel yang sudah sadar dari keterkejutannya.
Sedangkan yang ditanya memiringkan kepalanya, ditambah tatapan polos bak anak kecil. Membuat yang berada di sana terkejut part 2.
"Hmm, karena kalian lebih besar dari, Ine?" Ujarnya dengan meletakkan jari telunjuk di dagunya, seolah sedang berpikir.
"Bang Malik, gimana ni?" Ujar Jingga yang sudah bangun dari pingsannya.
"Gak tau juga gue, bawa pulang aja kali ya? Soalnya gak mungkin kita ninggalin bang Line yang kayak gini di kantor." Ujar Malik sambil menatap Line.
"Yaudah, ayo."
Malik menatap Line, "Hey, pulang yok," ujarnya dengan nada sedikit lembut.
Line melihat ke arah Malik, berkedip pelan lalu menggelengkan kepalanya, "Gak mau, di sini asik, banyak mainan, Ine," ujarnya dengan menunjuk kolong meja.
Mereka bertiga bingung, perasaan abangnya gak punya anak, jangankan anak istri aja belum punya.
"Mana?" Tanya Jingga sambil melihat ke kolong meja.
"Ini, Ine nampak cuman satu tadi." Ujarnya sambil menunjukkan telunjuk.
"Katanya banyak?" Tanya Malik.
"Kan ini banyak?" Tanya Line dengan memiringkan kepalanya.
FYI, Line duduk di lantai ya.
"Bukan banyak itu, yang banyak itu lebih dari satu misalnya tiga." Jelas Daniel sambil menatap lembut Line.
Line membulatkan mulutnya lalu mengangguk mengerti.
"Bang-" Ucapan Malik dipotong Line.
"Jangan panggil aku bang! Nama aku bukan bang, tapi Line." Ujar Line dengan mengerucutkan mulutnya.
"Oke, oke, Line, pulang yok." Ajak Malik dengan nada lembutnya, jarang-jarang Malik bicara lembut.
"Gak mau! Ine mau di sini aja, di sini asik." Pekiknya sambil bersembunyi di balik kursi kerja.
"Kalau Line pulang nanti abang beliin ice cream." Bujuk Jingga dengan binar di matanya.
"Serius!?" Jingga menganggukkan kepalanya, "Yaudah, yok pulang!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Eldest
Teen FictionProtagonis, protagonis, protagonis, hanya mereka saja yang diingat oleh pembaca. Karena apa? Karena baik lah, karena lembut lah, karena cakep lah. Tapi, pembaca melupakan salah satu tokoh, antagonis. Antagonis memang tokoh jahat, ya mereka memang to...