Isakan keluar dari mulutnya, ia yang tak pernah menangis di depan ke lima adeknya saat ini tengah menangis dalam pelukan adeknya.
Mereka mengira abangnya sekuat tameng peperangan. Ternyata itu salah, ia adalah kaca yang murah pecah dan hancur.
Ungkapan bagai ungkapan yang keluar dari mulut Naura tadi bagai palu yang memecahkan hati. Tatapan tajam yang diberikan Abigail bagai peluru yang bisa melubangi kepala.
Tangan Naura yang dengan mudahnya menampar anaknya sendiri, dan mulut Abigail yang dengan gamblangnya mengatakan kata-kata yang tidak seharusnya didapatkan Line.
Trauma trauma yang didapat oleh Line semuanya berawal dari 'rumah'. Membuat ia menjadi takut untuk melihat ke arah adek-adeknya yang senantiasa mengunggunya di depan pintu.
"Hiks hiks, takut." Line mengeratkan pelukannya pada Malik.
Malik mengelus kepala Line dan memberikan kecupan di kepalanya, ia tak sanggup melihat abangnya yang seperti ini. Ia rela badannya terluka, ia rela hatinya yang terluka, asalkan abangnya tidak, ia rela.
"Kenapa abang gak pernah lawan mereka?" Tanya Bastian sambil menatap sendu abangnya.
Line menggeleng lemah, "Gak mau, nanti abang dihukum lagi, sakit," lirihnya dengan suara serak.
Line merubah posisinya menjadi duduk lalu menatap ke arah Jingga yang sedang menatapnya juga. Jingga yang merasa ditatap menaikkan sebelah alisnya.
Line bergantian menatap mereka satu persatu, lalu menundukkan kepala, "Maaf," lirihnya yang bisa didengar oleh mereka semua.
"Maaf kenapa bang?" Tanya Fabian.
"Maaf, abang sering nyakitin kalian. Maaf abang sering kasar ke kalian, maaf abang gak pernah perhatian ke kalian, maaf-" Perkataan Line terpotong karena Daniel meletakkan telunjutnya ke bibir Line.
"Bang, abang gak perlu minta maaf kepada kami, itu semua bukan salah abang, tapi salah mereka."
"Tapi, tapi abang sering kasar ke kalian."
"Bang." Panggil Jingga pada Line, ia menatap Line garang.
Line menatap takut-takut pada Jingga, tatapan itu seperti tatapan yang sering diberikan Abigail padanya.
Fabian yang peka kalau abangnya ketakutan saat menatap Jingga, ia menyenggol lengan Jingga, "Bang Line ketakutan," bisiknya.
Jingga menghela nafas lalu merubah tatapannya menjadi lembut, ia lalu mengarahkan tangannya ke arah Line berniat untuk menyentuh pipi tirus Line. Tapi, Line langsung menghindar.
Oke, dari hasil pengamatannya tadi, trauma Line benar-benar besar.
"Lo ngapain anjir!?" Geram Daniel sambil menatap marah pada Jingga.
Jingga menghiraukan pertanyaan Daniel, ia menatap lembut ke arah Line, "Bang, kita pulang ke 'rumah' kita hari ini yok?" tanyanya dengan nada gembira.
"Nanti, daddy sama mommy marah kalau pulang duluan sebelum mereka nyuruh."
....
"Pindah aja lo sama adek-adek lo ke keluarga gue." Ujarnya pada Line yang saat ini tengah menatap teduh pemandangan di depannya.
Mereka berdua saat ini berada di tepi sungai dibumbui pemandangan angsa yang sedang berdansa di atas air. Angsa-angsa tersebut tidak menghiraukan adanya manusia di sekitar mereka, mereka hanya bermain dengan dunia sendiri.
"Kalau mau pindah keluarga, adek-adek gue aja yang lo bawa." Ujar Line dengan nada lembut, ia menatap teduh Haris yang sedang menatap marah padanya. Jujur, ia sedikit takut, tapi ia berusaha menepis rasa takut itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eldest
Teen FictionProtagonis, protagonis, protagonis, hanya mereka saja yang diingat oleh pembaca. Karena apa? Karena baik lah, karena lembut lah, karena cakep lah. Tapi, pembaca melupakan salah satu tokoh, antagonis. Antagonis memang tokoh jahat, ya mereka memang to...