Alil sedang berjalan-jalan menikmati suasana pegunungan yang segar, lalu Alfi datang menghampirinya, mereka tidak dekat bahkan baru kenal beberapa jam yang lalu. Alil memperhatikan lelaki disampingnya, mengapa wajahnya seperti orang yang kehilangan arah?
"Lu sakit?" Bukan karena apa Alil bertanya hanya untuk memastikan Alfi tidak merepotkannya seperti gadis waktu itu.
Jika mengingat tentang pertemuannya tadi dengan gadis itu, cukup singkat, tidak bisa kah ia mengulangnya sekali lagi?
"Gua gapapa bang, cuma lagi galau," jawab Alfi lalu duduk disebuah bangku yang tersedia. Pandangan keduanya lurus kedepan, menatap beberapa burung yang bersahut-sahutan di antara pepohonan.
"Galau karena cinta?" pasalnya anak jaman sekarang cuma cinta yang menjadi masalah satu-satunya.
"Bukan bang, gua anti pacaran, galau karena geng gua kalah jumlah kalo mau perang," jawab Alfi santai.
Perang? Memangnya ada konflik di negara ini?
"Perang sama siapa? gua ikut boleh ga?" Alil menanggapinya dengan serius, sangat serius malah terlihat dari tangannya yang menggulung lengan hoodienya. Berniat menunjukkan otot yang ia punya.
Alfi terkekeh melihat itu, "bukan perang besar, ini perang mempertahankan markas bang," ucap Alfi lalu menatap Alil penuh selidik. "Serius mau ikutan? kalo nanti misal ni ye, gua kagak doain, cuma misal doang, lu meninggal gitu? apa ga masalah? soalnya ini ga penting amat, tapi berharga buat anggota gua," ujar Alfi lalu menghembuskan nafas kasar.
"Belum tau aja dia, gua kan juga punya markas, apa gua bantu aja kali ya? ," batin Alil.
###
Elisa banyak murung akhir-akhir ini, terlebih setelah melihat adik sepupunya yang enggan untuk kembali kerumahnya.
Elisa tidak keberatan jika sang adik terus tinggal bersamanya, hanya saja, ia sedih melihat keluarganya yang tidak utuh seperti dulu.
Ia akui jika Alfa dulunya adalah anak yang cerewet, sampai semua orang lelah mendengar ocehannya, namun sekarang hanya keheningan dan wajah datar yang selalu diperlihatkan, tidak ada lagi omong kosong ataupun lelucon dari seorang Alfa, kehilangan yang membuat ia berubah, luka yang tidak pernah sembuh dan rindu yang hanya mampu dirangkai dengan buliran doa dan air mata.
"Adek, dengerin kakak sebentar bisa?," Elisa hari ini libur mengajar dikarenakan ia sedang kurang sehat. Ia memperhatikan Alfa yang sejak tadi hanya duduk dipintu depan dengan wajah yang ditekuk.
Tidak ada jawaban dari Alfa, ia hanya mengangguk mengiyakan.
Elisa mengajak Alfa duduk di bangku halaman, disampingnya terdapat pohon kelapa yang sedang berbunga.
"Kakak paham dengan apa yang kamu rasakan, tapi cobalah untuk berdamai dengan keadaan dek, bukan kakak mengusir kamu, tapi kakak ingin kamu kembali menjadi Alfa yang dulu, sebelum kejadian dimana Alda meninggal," sambil membelai lembut pipi sang adik, Elisa menjeda kalimatnya tersenyum sebentar lalu melanjutkan "Om Farhan akan kesini nanti sore, keputusannya ada sama adek, kalo mau pulang silakan, kalo tetap disini juga gapapa," Elisa membawa Alfa dalam dekapannya. Menyalurkan kekuatan yang ia punya, ia tidak bisa membantu banyak dalam hal ini, hanya sentuhan hangat dan kata penyemangat yang bisa ia berikan untuk adik sepupunya yang sudah ia anggap adik kandungnya sendiri.
###
"Rafaaa!"
"Wlee....ndak kena huhu... Lemah kamu Shil"
"Abang Lafa jahat, masa culang mainnya, kasian kak Shila jadi jatoh kan!"
Keributan siang ini terjadi dikediaman Karina. Sepulang dari puncak tadi, ia segera mengajak adik dan iparnya beserta anak keponaannya kerumah, rencananya malam ini mereka akan mengadakan acara bakar-bakar.