Tujuh : Melupakan Luka

11 5 0
                                    

Alfi sudah siap untuk berangkat ke kampus, ia hendak berpamitan kepada sang ibu namun tidak ditemukannya Karina di kamar maupun di dapur.

Rafa yang juga ingin berangkat sekolah menatap bingung abangnya yang mondar mandir seperti setrika.

"Kenapa bang?"

"Lihat Amma ga Raf?"

"Oh Amma lagi belanja diluar, noh ditempat wak Jon," ucap Rafa kemudian menuju ke parkiran.

"Raf, bentar dulu abang mau ngomong," ucap Alfi menghentikan aktivitas Rafa memanaskan motor.

"Ngomong aja bang, masalah Abba?" Rafa mencoba mengerti apa yang saat ini terjadi tapi hati kecilnya masih tidak terima kedua orang tuanya harus usai diusianya yang terbilang belia.

"Iya, Abang pengen ketemu Abba langsung dan tanya soal ini ke Abba, kamu mau ikut?" tawaran Alfi cukup membuat Rafa menegak air liur kasar, pasalnya ia sangat ingin ikut tapi tugas sekolah menumpuk.

"Gapapa abang aja, Rafa banyak tugas sekolah," ucapnya lalu diangguki Alfi.

Setelah Rafa menghilang dari pandangan, Alfi juga melajukan motornya membelah padatnya jalanan menuju kampus.

Beberapa temannya sudah ada yang dikampus dan ada yang di area balapan, sudah bukan rahasia lagi, seorang Alfi yang terkadang covernya seperti lelaki shalih nyatanya seorang berandal yang hobi balapan dan menyukai angin malam.

"Kapan serang balik nih? masa kita diam doang serasa di injak-injak sama mereka," laporan kali ini ia dapatkan setelah salah satu musuhnya kehilangan nyawa akibat balapan, lalu menyalahkan teman-temannya. Emosi Alfi memuncak alhasil ia tidak melihat sekitar dengan baik malah menabrak seorang gadis dengan gamis marun dan jilbab lebarnya.

"Lu budeg ya?"

Lihat saja sejak tadi ucapannya dianggap angin lalu oleh gadis itu.

"Woi cewe marun, lu punya sopan santun ga? ni orang lagi ngomong sama lu," ucapnya. Lagi-lagi ia diabaikan.

"Bhuahaha...."

"Baru kali ini woi gua liat lu kayak cacing kepanasan dikasih air garem."

"Udahlah jangan diperpanjang, kasian cewe baik itu."

Begitulah ucapan teman-temannya.

Alfi mengalihkan pandangan lalu melangkahkan kaki menuju kelas.

Ia dan kedua temannya beda kelas. Afgan dan Abrar mengambil jurusan Teknik Sipil sedangkan Alfi Mipa Kimia.

Saat ini ia mengikuti kelas Bahasa Indonesia yang mana ini mata kuliah pilihan yang wajib di ambil pada semester satu dan dua.

Gadis yang tadi pagi kembali ia jumpai di kelas ini. Emosinya seketika kembali memuncak.

***

"Serem banget aura dia, lu aja deh kalo mau," dua gadis sedang berseteru karena melihat Alfa, mereka saling menolak untuk duduk bersama Alfa.

Akhirnya mereka berdua duduk tepat dibelakang bangku Alfa.

"Gue pengen coba kenalan gitu, sekalian nambah temen," ucap Desty. Desty adalah gadis dengan tingkat penasaran melebihi Rhoma Irama, sungguh terlalu...

"Kalo berhasil gue balen bakso deh," lanjut Hilda menampilkan senyum mengejek.

Desty penasaran kenapa Alfa tidak memiliki teman disaat yang lain mencoba berkomunikasi antar satu dan lainnya. Ia boleh mencoba kan?

"Maaf sebelumnya, kenalin nama gue Desty," ucapnya sambil menoel bahu Alfa.

Alfa yang merasa ada yang berbicara dengannya pun menoleh kebelakang dan mendapati Desty dan Hilda yang tengah tersenyum.

Alfa bingung harus berekpresi seperti apa, alhasil ia hanya mengangguk dan sedikit senyum tanpa membalas ucapan Desty.

Hal ini menjadi perhatian anak-anak lain yang ada dikelas ini.

"Sombong banget gaya dia."

"Iya tuh sok cakep kali."

"Bukannya bales kenalan balik, ga punya attitude ya gitu, percuma jilbab gede."

Alfa merasa terusik karena mereka membawa jilbabnya.

Alfa berdiri dari duduknya dan menggepalkan tangan.

Sebelumnya ia beristighfar berkali-kali agar tidak tersulut emosi. Perlahan ia berjalan menuju meja gadis yang tadi menggibah dirinya. Menyentuh dagu salah satu dari mereka sambil membisikkan "Jangan usik gue kalo ga mau ketenangan lu terusik," ucapan singkat namun bermakna itu mampu membuat bulu kuduk mereka berdiri.

"Maaf kita ga sengaja, keceplosan hehehe."

Alfa kembali ke bangkunya sambil terus beristighfar, ia sangat anti dengan kata-kata yang menjatuhkan harga dirinya, baik itu jilbab atau pakaiannya. Sikapnya yang begini mengapa sangat perlu penilaian orang lain?
Suka tidak suka itu hak mereka?
Tapi apa pantas mereka menjelek-jelekkan jilbabnya? Gamisnya? Hanya karena sikapnya yang tidak sesuai keinginan mereka?

***

Sepulang dari kampus, Alfi membuka pintu sambil mengucap salam, Karina sedang menonton tv mendapati putranya yang berjalan kearahnya sambil membawa sesuatu.

"Abang beli apa tuh?"

"Donat kesukaan Amma, sama nasgor nih khusus untuk Amma tercinta," ucapnya sambil mencium pipi Karina kanan dan kiri.

Putra pertamanya memang paling romantis, hal ini membuat ia bersyukur dibalik luka yang baru ia alami, ia memiliki dua putra yang sangat menyayanginya.

"Assalamualaikum," Rafa pulang dengan membawa dua plastik makanan.

"Wa'alaikumussalam," jawab Karina dan Alfi bersamaan.

"Sini gabung makan donat nih," ucap sang Amma mengajak putra keduanya ikut bergabung.

"Rafa ada bawa sate nih, kemarin Amma kan kepengen sate jadi tadi Rafa beli deh," ucapnya menuju dapur berniat mengambil piring.

Kebahagiaan ini sudah lebih dari cukup jika dibandingkan dengan lukanya, ditinggal oleh orang yang paling ia cintai namun dia masih dikelilingi putra yang sangat menyayanginya.

***

Sesuai tujuan awal, sore ini Alfi menuju kediaman Fathan-ayahnya. Menurut informasi ayahnya tidak lagi bekerja sebagai abdi negara namun menjadi pengusaha batik terkenal.

Setelah sampai, ia dihadang oleh beberapa penjaga rumah, "Orkay emang beda ya penjagaannya," batin Alfi.

"Permisi pak, saya ingin bertemu pak Fathan Akram, sebelumnya perkenalkan saya orang yang akan bekerja sama dengannya," ucap Alfi.

Selain karena ingin bertemu ayah, Alfi juga punya target khusus, yaitu mengajak ayahnya kerja sama dengan perusahaan yang dikelola temannya, kebetulan bisnis mereka sama dibidang industri pakaian.

"Baik, silakan masuk, tuan ada diruangannya," Alfi dituntun menuju ruangan abbanya.

"Selamat sore pak, maaf ada tamu bapak."

"Langsung masuk saja."

Alfi segera masuk dan mendapati wajah terkejut dari abbanya.

"Alfi?"

"Iya abba, ini Alfi."

"Ada perlu apa? Amma yang menyuruhmu kemari?"

"Amma ga nyuruh, ini kemauan Alfi, langsung aja ba, Alfi penasaran kenapa Abba ninggalin Amma?"

"Ini urusan yang ga seharusnya diketahui anak kecil, mending kamu belajar yang bener, Abba sama Amma udah selesai, ga ada yang harus diperjelas," Alfi merasa ada yang disembunyikan oleh Abbanya.

Ia tidak puas dengan jawaban sang ayah. Merasa alasan yang diberikan Abbanya terlalu berbelit, Alfi memutuskan untuk pulang setelah berpamitan dengan ayahnya.





To be continue...

*Jadikan Al-Qur'an sebagai bacaan utama*

UKHTY KUTUBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang