Bab 9. Mimpi Itu Lagi!

5.6K 340 11
                                    

Happy Reading!
Typo tandain ya!!

Satu hari setelah peristiwa mengerikan yang menimpa Count Beaumont, himbauan dikeluarkan kepada seluruh rakyat Dorvalle dan Lysdor untuk menjauhi kawasan kediaman Beaumont, mencerminkan ketakutan akan kemungkinan terjadinya serangan lagi. Termasuk Rhea, putri Count Beaumont.

Saat ini, kehadiran para bangsawan sangat diharapkan dalam rapat besar kerajaan. Dalam rapat ini, Raja memerintahkan kepada para ksatria untuk meningkatkan pengawasan di setiap perbatasan sebagai langkah untuk meningkatkan keamanan kerajaan.

Seorang gadis duduk termenung di kamarnya, pikirannya dipenuhi oleh berbagai persoalan yang terus menerus mengganggu ketenangannya.

"Apakah ini ulah penyihir hitam?" gumam Rhea dalam monolog penuh tanya.

"Sudah ku bilang, penyihir hitam itu tidak ada," ujar Arthur, yang tidak sengaja mendengar gumaman Rhea.

Rhea mendongak menatap wajah tampan Arthur.

"Penyihir hitam hanyalah dongeng, jika ada kenapa aku tidak pernah melihatnya? Bahkan ayahku pun tidak pernah melihatnya," sambung Arthur.

"T-tapi-" perkataan Rhea terpotong ketika Arthur menempatkan jari telunjuknya pada bibir Rhea, memintanya untuk berhenti berbicara.

"Sst, sudahlah mungkin karena kau terlalu banyak pikiran, jadi sekarang tidurlah ini sudah malam."Arthur dengan membantu Rhea untuk berbaring di tempat tidurnya. Setelah memastikan istrinya sudah tidur dengan nyenyak, dia dengan hati-hati menarik selimut untuk menyelimuti Rhea, memastikan kehangatan dan kenyamanannya di malam yang dingin.

Arthur berjalan keluar dari kamar Rhea, Arthur menutup pintu kamar Rhea setelah memastikan Rhea menutup matanya.

"Tidur nyenyak, istriku."

Rhea mengintip dibalik selimutnya, ia melihat Arthur sudah keluar dari kamarnya. Dengan segera, Rhea mengambil buku di lacinya. Ia masih penasaran dengan lanjutan dari buku yang kemarin ia baca.

Dengan mata terfokus dan hati yang tenang, Rhea membuka buku tersebut. Setiap halaman yang terlipat dihampirinya dengan lembut.

Kosong!

Dengan kebingungan yang melintas di wajahnya, Rhea mengamati setiap lembaran kertas kuning kecoklatan yang kosong di hadapannya. Matanya bergerak dari satu halaman ke halaman berikutnya, mencari-cari tanda-tanda yang mungkin terlewat. Tetapi tak ada yang muncul, kecuali kekosongan yang menyelinap perlahan-lahan ke dalam benaknya.

Dalam kegelapan yang tiba-tiba menyelimuti kamarnya, Rhea merasakan hatinya berdebar kencang. Cahaya lilin yang tiba-tiba padam membuatnya terperangkap dalam kegelapan total, membiarkan ketakutan merayapi setiap serat tubuhnya.

Gedebuk!
Terdengar suara benda yang jatuh.

"Atalanta..., aku mencintaimu."

"Menikahlah bersamaku...."

"Maafkan aku..., Atalanta."

Suara-suara itu membuat Rhea terganggu, suaranya seperti saling sahut-menyahut.

Dengan napas tersengal-sengal dan keringat membasahi tubuhnya, Rhea terbangun dari alam mimpi yang kelam. Matanya terbuka lebar, memandang sekeliling dengan kebingungan yang masih menyelimuti pikirannya. Lembutnya hembusan angin malam menyentuh wajahnya, menyadarkannya bahwa kenyataan yang menakutkan tadi hanyalah bagian dari mimpi yang telah berlalu.

"Mimpi itu lagi!" gumam Rhea. Setiap malam, Rhea terjebak dalam alam mimpi yang sama. Bukankah Atalanta adalah nama Ratu pertama kerajaan Torvania? Jadi, apa hubungannya dengan mimpi yang dialami oleh Rhea?

Rhea menatap ke arah jendela yang terbuka, melihat bulan pucat tergantung di langit malam yang gelap. Angin malam menyapu lembut melalui kamar, menusuk hingga ke tulang dan membuat sekujur tubuhnya merasakan dingin yang menusuk. Sekelebat bayangan melintas di jendela kamarnya.

Dengan getaran kegelisahan yang merayapi dirinya, Rhea bergidik ngeri, membayangkan mimpi buruknya yang kembali menghantuinya. Dalam keputusasaan untuk menghindari kengerian yang terus menghantuinya, ia memutuskan untuk mencari perlindungan di kamar Arthur, berharap agar tidak terjadi hal yang sama seperti yang ia alami dalam mimpi.

Dengan nafas tersengal-sengal, Rhea menyibak selimutnya dan berlari ke arah kamar di sebelahnya, cahaya remang-remang koridor menyinari langkah-langkahnya yang tergesa-gesa. Rhea membuka pintu kamar Arthur dengan sedikit kasar, ternyata pintu kamar ini tidak terkunci!

"Arthur!" teriak Rhea.

Rhea berjalan ke arah ranjang Arthur, tidak ada! Arthur tidak ada di ranjangnya.

Argh!

Bulu kuduk Rhea meremang, entah berasal dari mana suara erangan tersebut!

"Kenapa kau ada di sini?" tanya Arthur, sambil menatap Rhea dengan heran. Gelas yang ia genggam menjadi bukti bahwa ia baru saja mengambil air.

Fyuh,
Rhea bernapas lega.

"Tadi aku habis bermimpi buruk, apakah kau mau menemaniku untuk malam ini saja?" tanya Rhea dengan nada takut-takut.

Arthur menatap dengan senyuman yang mengejek, bibirnya melengkung ke atas dengan nada yang menciptakan kesan sinis. Matanya mungkin sedikit menyipit, menambah intensitas dari senyuman yang penuh dengan ejekan dan keangkuhan.

"HOHOHO, apakah kau sudah siap untuk memberikanku seorang penerus?"

Rhea menggigit bibir bawahnya dengan gugup, hei, bukan ini maksud Rhea!
Dua tangan Rhea bersilang di depan dadanya.

"Jangan terlalu percaya diri, tuan!" sinis Rhea. Rhea melangkah mendekati Arthur dengan langkah mantap. Namun, saat kakinya menyentuh lantai, tiba-tiba saja permukaannya menjadi licin di bawahnya. Rhea tergelincir dengan tiba-tiba, tubuhnya kehilangan keseimbangan. Dalam ketakutan yang melanda, ia menutup matanya, berharap bahwa Arthur akan menangkapnya seperti adegan romantis dalam sinetron Indosiar.

Awsh!
ringis Rhea.

Realita tidak sesuai dengan ekspektasi, pantat Rhea malah terembab ke lantai.

"Pftt, kau sedang apa, nona?" Pria ini! Ia malah menertawakan istrinya yang sedang kesakitan.

Bersambung...

10 Mei 2024

Gimana tanggapan kalian soal bab ini? komen ya!!

10 vote lanjut, mwehehe

Melintasi Garis Waktu (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang