10

81 6 0
                                    

Suara itu tentu mengejutkan mereka yang mendengarnya. Seluruh pandangan tertuju lurus pada, sumber suara.

Tepatnya diruang kerja Safira. Ia membanting apapun yang ada disekitarnya termasuk gelas dan vas bunga.

Ke dinding. Bahkan ada dari pelanggan mereka yang kabur, mengurungkan niatnya untuk makan siang direstoran itu.

"Polisi itu! Aku akan membunuhnya! Polisi bajingan! Sinting! Brengsek! Aku benci! Aku benciiiiii!" tandas Safira sambil terus melempar apapun yang ada disekitarnya.

Merasa gawat, dan hanya tinggal mereka berdua saja disana yang tersisa. Kalandra merasa khawatir.

"Ris, kayaknya kita harus pergi deh... Aku takut.... Loh, Ris???" Kalandra kaget saat melihat Riska tidak lagi ada disebelahnya.

Riska malah kini berada disana memvideokan alias siaran langsung di tiktok. Memperlihatkan secara jelas keadaan Safira saat itu melalui kamera belakangnya.

"Tuh anak...." Kalandra tak habis pikir. Lagi lagi temannya satu itu mencari gara gara.

Riska berkata. "Saat ini saya sedang meliput seseorang yang belakangan lagi naik daun guys namanya. Kalian kenal gak sih sama Safira, pasti kenal kan? Nah ini dia orangnya guys.... Orangnya lagi ngamuk... Eksklusif nih guys, tuh liat, ngamuk dia.... Hahaha....
Pelanggannya aja sampe ngibrit pergi, nih saya beraniin diri buat ngerekam." ujar Riska kepada para penontonnya, seorang waitress coba menghampiri Riska dan merebut ponselnya. Namun Riska tak mau kalah, ia mempertahankan ponselnya.

"Apaan sih... Hape gue juga... Lepas..." ia tak mau memberikan hapenya itu, mereka saling rebutan saat itu hingga kehadirannya disana cukup membuat Safira untuk menyadari kehadirannya.

Safira yang sedang dalam keadaan marah langsung menghampiri Riska dengan membawa gelas ditangannya. Ia langsung lempar ke kepala Riska hingga gelas itu pecah dan melukai kepala Riska.

Tentu saja Riska langsung tak sadarkan diri saat itu juga. Panik, Kalandra tak percaya dengan yang ia lihat barusan. Ia berlari cepat ke arah Riska dan coba lihat, ada darah disekitar kepalanya. Kalandra ketakutan, apalagi ia trauma dengan darah.

Ia langsung panas dingin dan memucat wajahnya. Terngiang ngiang bayangan darah dimasa lalu, saat ketika ibunya berdarah tangannya disebabkan luka yang ia buat sendiri, hari itu. Ibunya berniat untuk bunuh diri.

Safira tersenyum menyeringai dan mulai jalan mendekati Kalandra. "Ah... Halo sayang... Mau mencoba untuk membangunkan temanmu ya? Atau, hendak menyusul?" tanya Safira dengan senyuman seringaiannya.

Kalandra langsung terduduk, hendak mengesot karena kakinya mendadak kaku, susah untuk digerakkan atau sekedar bangkit. Ia coba mengesot lagi ke belakang.

Safira menginjak kakinya bahkan kini tangannya sangat kencang, matanya melotot, Kalandra kesakitan. Ia meringis menahan sakit seiring kuatnya injakan kakinya.

"Bu, udah bu." seorang pekerjanya mencoba untuk menghentikannya namun Safira langsung mendorongnya hingga terjatuh.

"Jangan halangi aku.... Orang orang sok baik, sok bijak, sok pahlawan seperti kalian itu sama saja! Kalian pikir aku sama dengan kalian? Tentu tidak! Kita tidak selevel! Kalian semua munafikkk!!!" tandas Safira yang langsung menarik kerudung Kalandra hingga kerudungnya maju dan poninya hampor terlihat, ia berniat akan membenturkan kepalanya namun dengan cepat Kalandra mencoba menahannya.

Napas Kalandra kacau, ia menahan rasa traumanya akan darah juga rasa kesalnya dengan satu orang ini. "Saya tahu alasan kenapa kamu mengatakan hal itu.... " Kalandra masih seperti ngos-ngosan nafasnya.

Trauma yang begitu mendalam. "Itu karena setiap orang yang kamu temui menganggapmu seperti itu kan? Kamu menjadikan banyak orang yang bersifat sama sebagai pelampiasan, atas luka yang pernah kamu terima..." ujarnya masih ngos-ngosan.

Safira terdiam sesaat. Kemudian tampak seperti tertawa meremehkan. Kalandra masih belum berhenti.

"Padahal dari cara didik orang tua tiap orang ke anaknya saja berbeda. Tapi kamu hendak menyamakan kami semua? Pemikiran yang kurang adil!" tandas Kalandra dengan cepat mendorong tubuhnya dan bangkit. Seketika keberaniannya muncul.

Safira mendecih. "Kau hanya bocah ingusan yang tidak tahu apa-apa!!"

"Itulah kenapa tuhan membuat kita mampu berpikir, agar kita mampu mencari tahu hal hal melalui tanda tandanya..."

"Menjengkelkan! Tidak ada tuhan didalam hidupku!"

"Ada, selalu ada, tapi kamu yang sengaja menutup diri untuk tidak mencari tahu...."

"Kalau aku tanya kemana saja Dia selama ini, ketika aku terpuruk, ketika aku menderita, ketika aku luka dan ketika aku mendapatkan beragam serangan. Apa Dia hanya hendak menontonku saja supaya terhibur?"

"Tuhan tidak pernah mencari hiburan..."

Semakin naik pitam Safira saat itu, matanya gelap, ia langsung tarik kerudung Kalandra dan hendak melepasnya namun seseorang langsung menahan tangannya dengan cengkraman kuatnya.

Dia adalah Lian. Safira semakin kesal dan langsung mengambil kursi hendak memukulnya dengan kursi itu namun sayang sekali keburu Safira disuntik penenang oleh Diandra. Hingga akhirnya jatuh pingsan dipangkuan Diandra.

"Kamu enggak apa-apa?" tanya Diandra pada Lian, Lian langsung menghampiri Kalandra.

"Kamu enggak apa-apa? Ada yang luka?" tanya Lian. Kalandra menggeleng.

"Saya antar kamu ya sekarang." ujar Lian.

"Ah enggak usah pak, saya mau bawa teman saya ke rumah sakit..."

"Gotong dia pakai apa? Lebih baik ikut tumpangan saya, kebetulan saya bawa mobil... Saya anter kamu ke rumah sakit sekalian kamu periksa kalau ada yang luka juga..." ujar Lian.

Kalandra mau tak mau pun menuruti keinginannya. "Makasih pak..." ucapnya.

Diandra terus melihat ke arah mereka. Entah kenapa, sorot mata Lian terlihat berbeda ketika melihat Kalandra, apa mungkin karena dia... Cantik?

Sesampainya dirumah sakit, Lian menghampiri ruang rawat Kalandra. Kebetulan di ruangan itu ia berdua dengan Riska yang masih tak sadarkan diri disebelahnya.

"Kenapa enggak coba ditidurin? Istirahat..." tanya Lian.

"Maaf pak, saya enggak biasa tidur siang..." ujar Kalandra.

"Kamu kaget tadi?" tanya Lian yang coba ambil kursi disebelah kasurnya, duduk. Kalandra melihat tangannya yang bergetar.

"Tangan kamu masih gemetaran..." ujar Lian.

"Jeli banget sih dia..." batinnya, Lian membaca pikirannya dan tersenyum.

"Kamu gemetaran apa karena ada saya disini?"

"Ha?" tanya Kalandra merasa jika Lian sok kepedean saat itu.

"Akui aja..."

"Apa sih pak.... Terus kalo saya bilang betul, bapak apa mau pergi sekarang?" tanya Kalandra, Lian terkekeh.

"Kamu hendak ngusir saya sekarang?" tanya Lian.

Mendadak ia dekatkan dirinya hingga tangan bersinggungan. Kalandra langsung reflek bangkit. "Gak boleh deket deket, jarak normal dua orang yang bukan muhrim adalah 10 senti..."

"Haha kalo sekarang jadi muhrim saya gimana?"

Deg.... Kalandra langsung memalingkan wajahnya.

"Jangan ngegombalin saya pak, enggak bakal mempan... " ujar Kalandra. Lian tertawa. Ia justru mengalihkan topik ke yang lain.

"Kamu sudah dengar berita tentang Safira?"

"Oh iya, saya penasaran, kenapa bapak ada disana tadi, dan bu Safira.... Gimana keadaannya sekarang pak?" tanya Kalandra.

"Rafael kekasihnya meninggal, dan Safira, terbukti sebagai si pembunuh berantai yang kami cari belakangan..."
Kalandra melotot kaget.

Sayap Sayap Patah (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang