☁️ㅣ40. Saat Permohonan Itu

4.2K 533 108
                                    

"Berulang kali aku menghubungimu, Naya ingin bertemu, tapi kamu mengabaikannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Berulang kali aku menghubungimu, Naya ingin bertemu, tapi kamu mengabaikannya." Mera terisak di ruangannya dengan Agraska yang duduk berhadapan dengannya saat ini.

Di ruangan khusus Mera, dokter spesialis ortopedi, Agraska datang ke rumah sakit pagi-pagi sekali menemui wanita itu untuk menanyakan kondisi Naya. Hasil akhirnya, ia dibawa kemari.

"Hp gue ilang." Agraska menjawabnya tanpa menatap. Enggan sekali ia harus bertatapan dengan wanita di hadapannya.

"Karena tawuran lagi?" Mera memperhatikan kening Agraska yang dibalut perban. "Sepenting itu tawuran dari pada adikmu?"

Agraska terdiam untuk sementara waktu, pandangannya mengedar sebelum akhirnya terkekeh. "Adik, ya. Adik."

"Kenapa?" Nada suara Mera yang keluar sedikit kesal. "Apa kamu tidak peduli lagi dengan Naya?"

"Bukan gak peduli. Cuman sakit hati."

Keduanya terdiam, diselimuti keadaan sepi yang datang secara tiba-tiba akibat ucapan terakhir Agraska. Itu adalah pertanda untuk Mera yang sudah membuat kesalahan di masa lalu. Agraska ingin wanita itu sadar.

Kedua bola mata Agraska bergerak, bertatapan dengan Mera yang juga masih menatapnya sejak tadi. Tatapan itu, masih sama dinginnya seperti dulu, masih sama asingnya seperti mereka tak memiliki hubungan apapun di dunia ini. Mereka bagai orang asing yang baru bertemu dan terpaksa berinteraksi. Miris.

"Rumah ayah di mana?" Agraska memulai percakapannya kembali. "Gue selalu nemuin Naya demi dia, demi senyuman dia. Dan itu, Nyonya yang minta. Sekarang gue minta jawaban, mana rumah ayah? Tega. Nyonya egois. Cuman itu yang gue mau, tapi susah gue dapetin, Nyonya."

Mera mengalihkan pandang. "Aku sudah berjanji, saat Naya sembuh, kamu akan tahu di mana tempat terakhirnya."

Mengembuskan napasnya dengan kasar, Agraska beranjak berdiri. Selalu seperti ini. Ia tak akan mendapat jawaban pasti.

"Nyonya, gue boleh nyesel gak kenapa harus terlahir di dunia?" Agraska bertanya, dengan tatapan tertuju pada pintu ruangan Mera.

Pintu ruangan yang pernah ia pukul-pukul dengan sangat keras kala usianya 12 tahun.

.☁️.

"IBU, BUKA PINTUNYA! IBU!" Agraska panik bukan main saat ini. Kakaknya masih berada di luar membeli makanan, ia tidak bisa meminta bantuannya, yang ia ingat saat ini hanyalah ibunya yang berada di rumah sakit. Pintu ruangan yang Agraska ketahui sebagai ruangan ibunya itu dipukul-pukul kuat olehnya.

Tak lama dari sana, petugas rumah sakit datang dan menjauhkan tubuh Agraska dari pintu. "Dek, mau ketemu siapa?" tanya petugas itu, menatap anak yang ia perkirakan berusia 12 tahun.

"Ibu Mera di mana, Kak? Saya mau ketemu Ibu." Agraska menggenggam kuat kedua lengan petugas wanita itu, air matanya mengalir deras tanpa henti. "Kalau ibu gak ada, Kakak mau 'kan bantuin saya? Kakak bisa 'kan ke rumah saya, Kak?!"

Awan untuk RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang