☁️ㅣ28. Lavender dan Blueberry

5.6K 661 156
                                    

Yang kangen Awan mana?? Jangan lupa ramaikan chapter ini!

Bola mata Agraska terbuka lebar begitu dering telepon ponselnya berbunyi nyaring, lelaki itu langsung bangkit dan memindai keadaan sekitar dengan mata menyipit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bola mata Agraska terbuka lebar begitu dering telepon ponselnya berbunyi nyaring, lelaki itu langsung bangkit dan memindai keadaan sekitar dengan mata menyipit. Semalam ia sengaja menginap di markasnya, sendirian tanpa ingin ada yang menemani. Pikirannya sedang kacau, hingga berbohong dalam chat bahwa ia kebablasan menonton drama, nyatanya Agraska benar-benar lupa mengirimkan pesan pada Rembulan karena ia sibuk memikirkan sesuatu.

Sesuatu yang kini juga datang tak henti-hentinya menghubungi membuat Agraska terpaksa menjawab telepon itu.

"Apa sih, Nyonya? Masih jam enam!"

"Naya ingin bertemu kamu."

Suara di seberang telepon terdengar, Agraska menghela napasnya dengan gusar. Selalu saja tentang seorang gadis yang bahkan tak ada hubungan penting apapun dengan Agraska. Selalu saja tentang ibunya yang memohon demi orang lain pada Agraska. Bagaimana Agraska tidak muak jika urusannya bukanlah hal penting untuknya?

"Aku mohon, datang hari ini, dia menunggu kamu."

Mengembuskan napasnya, Agraska tak punya jawaban apa-apa lagi. "Nanti siang gue ke sana, Nyonya. Jangan hubungin gue setelah ini," ucapnya lantas menutup sambungan telepon sepihak.

Agraska kembali duduk untuk menenangkan hati juga pikirannya yang acak-acakan. Kenapa ia harus menuruti perintah ibunya ini dengan mudah? Kenapa tak langsung ia tolak saja? Apakah di tengah gelap hatinya, Agraska masih punya setitik cahaya untuk bersimpati? Agraska terkekeh sendiri, tidak ada cahaya dalam dirinya, semuanya sudah rusak.

'Semua manusia punya simpati, Nak. Ada yang tulus mengeluarkannya, namun juga ada yang selalu tertahan dalam diri karena sebuah alasan. Bahayanya, ada yang sama sekali tidak mengenal apa itu simpati.'

Agraska kembali merebahkan tubuhnya di kursi dengan kedua tangannya menjadi bantalan di tengkuk. Jadi mengingat bagaimana mendiang ayahnya selalu menasehatinya dan berkata lembut penuh sabar padanya. Agraska akan selalu menerima dan mendengarkan dengan baik apa yang dikatakan oleh mendiang ayahnya. Hanya saja, itu tidak bertahan hingga ia menginjak dewasa.

"Apa yang baik itu selalu mati? Kapan gue jadi baik? Biar gue mati."

.☁️.

Agraska membukakan pintu taksi lalu menggendong Rembulan dan mendudukannya di kursi penumpang. Setelahnya, ia memasukkan kursi roda ke dalam bagasi dan ia masuk terakhir untuk duduk di bagian depan--samping kemudi, sementara Rembulan bersama Bela di belakang.

Setelah pulang sekolah, Agraska sengaja mengantar Rembulan dan Bela lebih dulu menuju ke perpustakaan kota. Berhubung dalam seminggu terakhir ini, ia yang bertanggung jawab atas kepulangan Rembulan. 

"Temen virtual lo itu cewek atau cowok, sih? Gue lupa belum nanya." Agraska menoleh ke belakang, pada Rembulan yang sepertinya sedang menghubungi seseorang di ponselnya.  Ia sudah tahu, jika Rembulan memiliki teman virtual untuk belajar dengan alasan buku Kimia yang diincar Rembulan lebih dulu dibeli oleh sosok itu.

Awan untuk RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang