04.~❤️~

21.1K 1.5K 5
                                    

Vote dulu sebelum baca ☺️

*Banyak perubahan di part ini

_________________________________

Gerald berjalan menuruni tangga dengan Aiden yang berada di gendongannya. Mereka menuju ruang makan untuk sarapan bersama. Di sana sudah ada tiga remaja yang duduk tenang menunggu anggota keluarga yang lain. Menyadari kehadiran Gerald dan Aiden, ketiganya menoleh secara bersamaan.

Gerald duduk di kursinya dengan masih menggendong Aiden. Alhasil Aiden duduk di pangkuan Gerald. Aiden menatap ketiga remaja itu bergantian. Lalu menatap Gerald dengan bingung.

"Beri salam, Sayang. "Selamat pagi" katakan seperti itu" titah Gerald dengan lembut sambil mengusap pipi Aiden dengan ibu jarinya.

Aiden masih bingung. Lalu Aiden kembali menatap tiga remaja itu. Remaja yang paling besar tersenyum manis kepada Aiden, begitu juga remaja di sampingnya. Namun, berbeda dengan remaja paling kecil yang duduk di seberang Aiden. Dia hanya menatap datar ke arah Aiden.

Aiden yang masih melihat ketiga remaja itu bergantian tak sengaja tatapannya beradu dengan anak kecil berkulit putih pucat yang duduk di paling ujung. Dia tersenyum lebar sambil melambaikan tangan kepada Aiden.

Aiden yang menyadari sosok transparan itu langsung naik dan memeluk leher Gerald dan menyembunyikan wajahnya di ceruk leher sang papa.

"Kenapa, Sayang?" tanya Gerald yang merasakan tubuh Aiden gemetar.

Apa dia takut? Dengan siapa? _Gerald

Ketiga kakak Aiden juga bingung melihat sikap Aiden. "Kenapa, Pa?" tanya remaja paling besar yakni Laskar.

Gerald menoleh ke arah Laskar lalu menggelengkan kepalanya. Pasalnya Gerald juga tidak tau alasan si bungsu bersikap seperti itu. Seperti orang ketakutan.

"Kenapa, Son? Ada yang membuatmu takut?" tanya Gerald lagi karna tidak ada jawaban dari pertanyaan sebelumnya.

"Ta-kut" cicit Aiden seraya menunjuk Aaron, kakak ketiganya. Sebenarnya Aiden bukan menunjuk Aaron melainkan menunjuk sosok anak kecil yang duduk di samping Aaron.

Namun, Aaron sepertinya salah mengira jika si bungsu menunjukkannya. Dia merasa tersinggung dan tiba-tiba berdiri menggebrak meja makan. "MAKSUD KAMU APA?! AKU SAMA SEKALI TIDAK MENGGANGGUMU!!" bentak Aaron membuat Aiden semakin takut. Anak kecil itu semakin mengeratkan pelukannya di leher Gerald.

Semua yang di sana menatap ke arah Aaron. Gerald menatap tajam putra ketiganya. Membuat Aaron terdiam dan langsung duduk kembali.

Gerald pun menasehati ketiga putranya tentang sopan santun di depan orang yang lebih tua juga sopan santun di ruang makan.

Gerald sangat menyayangi juga memanjakan keempat putranya. Namun, dia juga sosok ayah yang tegas dan berwibawa. Gerald dan Sylvia juga mengajarkan etika yang baik sejak mereka kecil. Meski keempatnya sering bertengkar karena hal sepele, namun menurut mereka itu adalah hal wajar yang terjadi diantara saudara.

Gerald menepuk-nepuk punggung Aiden agar si bungsu tenang. Aiden pasti terkejut setelah Aaron membentaknya.

"Dia masih takut padamu Tuan muda"

"Iya, alangkah baiknya Tuan muda mendekatinya perlahan-lahan dulu"

"Diam! Aku tidak butuh pendapat kalian!"

"Tuan muda jangan keras kepala, Tuan muda bisa lebih takut pada Tuan muda jika seperti itu"

Dia takut karena melihat kalian! Bukan aku!"

"Tapi kan Tuan muda yang bertatapan dengan Tuan muda Levi"

"..."

Aiden bisa mendengar percakapan sosok-sosok transparan yang mulai bermunculan. Aiden memejamkan matanya sambil terus menyembunyikan wajahnya di leher Gerald.

"Kenapa semua orang diam?" tanya Sylvia yang baru datang.

"Tidak ada, sebaiknya lekas sarapan sebelum terlambat ke sekolah, Papa juga ada meeting"

Dengan tenang, keluarga itu memulai sarapannya. Aiden yang masih di pangkuan Gerald sesekali membuka mulutnya untuk menerima suapan dari Sylvia.

Setelah selesai sarapan bersama, ketiga kakak Aiden berangkat ke sekolah. Sedangkan Aiden yang masih mengambil hari libur tetap berada di rumah.

Gerald menurunkan Aiden di atas karpet bulu di kamar Aiden. Dia mensejajarkan tingginya dengan si bungsu. "Sayang main sendiri tidak apa-apa kan?" tanyanya.

"Sendilian?" Aiden mengerjap berkali-kali. Lalu dia menunduk. Dia ingin mengatakan jika dia tidak suka sendirian namun takut jika kedua orang dewasa itu marah.

"Kenapa? Levi tidak mau bermain sendiri? Bagaimana jika bersama Zero?" tawar Sylvia. Sebenarnya dia tidak tega meninggalkan si bungsu di rumah. Karena dia kehilangan sedikit ingatannya itu pasti menghebohkan para pelayan.

Aiden menggeleng. Dia tidak ingin sendirian. Jika dia sendirian pasti sosok-sosok aneh itu akan bermunculan dan mengganggunya. Aiden memang belum melihat secara keseluruhan sosok-sosok transparan itu, namun firasatnya mengatakan mereka pasti menyeramkan.

"Baiklah, kalo begitu ikut bersama Papa dan Mama ke kantor ya?"

Aiden mendongkak menatap Gerald dan Sylvia. Kedua matanya berbinar sangat indah bak beribu bintang ada di dalamnya.

Gerald dan Sylvia tersenyum menahan gemas. Entah sejak kapan putra bungsu mereka menjadi semanis ini.

Gerald kembali mengangkat tubuh Aiden ke dalam gendongannya. "Let's go, Son" ucap Gerald dengan riang.

Aiden ikut tersenyum lebar. "Yet goo" Aiden mencoba meniru Gerald dan itu membuat Gerald dan Sylvia tertawa. Aiden juga ikut tertawa meski tidak mengerti hal apa yang di tertawakan.

Ketiganya pun pergi ke kantor tempat Gerald dan Sylvia bekerja.

"Aku juga ingin tertawa bersamanya"

"Sabar, Tuan muda"

"Aku bosan bermain bersama kalian"

"Kenapa Tuan muda kejam sekali?"

"Kalian itu jelek"

"Astaga, Tuan muda"

"..."












Aku sedikit gak inget chapter ini, jadi aku tulis seadanya 😔

Tbc
See you next chapter 😘

KesayanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang