18.~❤️~

12.1K 1K 10
                                    

Vote dulu sebelum baca ☺️
___________________________

Dean sedang menatap langit malam penuh bintang dari balkon kamar Levi. Dean merasa sangat kesepian setelah dirinya tidak bisa bermain juga berbicara dengan adik bungsunya itu.

Setidaknya biarkan Dean bisa berada di dekatnya, mengapa dukun itu membuat penghalang yang menjauhkan mereka? Dean tidak bisa mendekati Levi lebih dari jarak dua meter. Itu membuatnya frustasi saat ingin melihat Levi dari dekat. Dan Dean juga tidak bisa duduk bersama dengan keluarganya saat makan karena penghalang itu.

Dean masih bisa mendekati anggota keluarganya yang lain, namun mereka itu tidak semenggemaskan adik bungsunya. Dean tidak menyukainya.

Dean menghela nafas. Dia memutuskan untuk kembali masuk ke dalam kamar Levi lalu duduk di atas almari kaca berisi boneka kelinci milik Levi. Menatap Levi yang sedang tertidur pulas dengan memeluk boneka beruang kecil yang baru dibelikan oleh Laskar. Sepertinya boneka itu akan menjadi boneka kesayangannya untuk beberapa waktu.

Para roh penghuni mansion menatap Dean sendu dari kejauhan. Mereka merasa kasihan melihat sang majikan kecil kesepian. Meski masih ada para roh yang akan menemani Dean, mereka sangat memaklumi jika Dean sesedih itu setelah terpisah dari adik bungsunya. Terlebih Dean hanya roh seorang anak kecil yang berusia sepuluh tahun.

Roh akan berperilaku sesuai usia terakhirnya di dunia. Meski sudah bertahun-tahun menjadi roh, roh seorang anak kecil berusia sepuluh tahun tidak akan berubah menjadi sosok yang dewasa. Mereka akan tetap seperti anak usia sepuluh tahun. Yang hanya memikirkan bermain sepanjang waktu. Itulah Dean semasa hidupnya. Namun, para roh penghuni mansion bangga karena Dean masih bisa berpikir sedikit lebih dewasa dari usianya.

"Tuan muda, ingin bermain denganku?" ajak sesosok anak kecil yang tiba-tiba sudah duduk di samping Dean.

Dean menoleh menatap sosok tersebut. Dean mengenalnya. Sosok itu adalah anak seorang pelayan di mansion yang mati karena tertabrak mobil saat pulang sekolah. Usianya lebih tua dua tahun dari Dean.

"Aku sedang tidak ingin bermain" ucap Dean. Dari suaranya saja sudah terlihat jika roh tampan itu sedang sedih.

"Baiklah aku akan menemani Tuan muda disini"

Dean hanya diam. Dia kembali menatap Levi yang tertidur pulas. Sesekali si bungsu mengerucutkan bibirnya. Membuat pemandangan yang begitu menggemaskan sampai Dean tersenyum melihatnya. Entah apa yang ada di mimpi adiknya itu sampai mengerucutkan bibirnya seperti itu.

Keesokan harinya, Levi bangun tanpa bantuan Camilla lagi. Dengan mandiri Levi beranjak dari ranjangnya dan pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka. Setelah selesai dia kembali ke arah ranjang dan menarik tangan boneka beruangnya.

Saat keluar kamar, Levi berhenti sejenak menatap pigura foto yang terpajang di dinding depan kamarnya.

"Sayang, kamu sudah bangun?"

Suara lembut itu mengalihkan perhatian Levi. Levi terlihat riang saat melihat wanita cantik berjalan mendekatinya.

"Mama..." teriak Levi senang sembari berlari ke arah Sylvia.

"Oh, Sayangnya Mama" Sylvia memeluk Levi erat lalu mengajak putra bungsunya itu untuk sarapan bersama.

Di ruang makan seluruh anggota keluarga sudah berkumpul. Duduk tenang sembari menunggu Levi dan Sylvia.

"Selamat pagi" sapa Levi kepada anggota keluarganya yang lain.

"Selamat pagi"

Levi tersenyum lalu naik ke atas kursi. Dia duduk di samping Zeeval. Setelah semua anggota keluarga berkumpul, Gerald mengawali sarapan mereka dengan menjadi pemimpin doa.

Sehabis sarapan, Levi mengikuti Sylvia masuk ke kamarnya. Entah mengapa dia ingin selalu berada di dekat mamanya hari ini. Levi juga melihat Sylvia berganti pakaian.

"Mama mau pelgi?" tanya Levi ketika melihat Sylvia memakai dress selutut berwarna pink pastel dengan motif bunga.

"Levi lupa jika sekarang kita akan piknik?"

"Piknik?" Levi mencoba mengingat.

Seketika kedua matanya membulat lucu saat mengingat rencana piknik dengan keluarganya. Kedua pipinya menyemburkan rona merah muda. "Ah! Piknik!"

Sylvia terkekeh melihat tingkah lucu Levi. Dia mengusap puncak kepala si bungsu lalu menyuruhnya untuk bersiap juga. Levi pun segera berlari menuju kamarnya.

Gerald sudah siap dengan pakaian kasualnya. Begitu juga Laskar, Zeeval dan Aaron. Ya, ini memang rencana piknik satu keluarga. Bukan hanya Gerald, Sylvia dan si bungsu.

Ketiga remaja itu tidak menyukai piknik. Mereka ikut dengan alasan lain yakni bermain bersama si bungsu.

"Semuanya sudah siap?" tanya Sylvia sambil membenarkan pakaian Levi.

"Sudah, Nyonya. Semuanya sudah dimasukkan ke dalam bagasi mobil" ucap Zero.

"Baiklah, waktunya kita pergi"

"Aku suka piknik" teriak Levi riang. Dia berlari keluar diikuti Gerald, Sylvia dan ketiga kakaknya. Mereka tersenyum cerah. Bahkan Zero yang jarang tersenyum ikut menarik sudut bibirnya ke atas kala melihat tingkah majikan kecilnya yang tiba-tiba terlihat menggemaskan.

Levi masuk ke dalam mobil bersama Gerald, Sylvia dan Aaron. Sedangkan si sulung dan Zeeval menaiki mobil yang berbeda. Gerald pun melajukan mobilnya di susul dengan mobil yang dikendarai Laskar.

"Aku tebak kita akan pergi ke kampung halaman Mama" ucap Zeeval dan diangguki oleh Laskar.

"Memangnya kenapa jika ke kampung halaman Mama? Bukankah itu menyenangkan? Aku saja ingin selalu pergi kesana"

Itu Dean. Meski dia tidak bisa satu mobil dengan Levi namun dia bisa satu mobil dengan saudaranya yang lain. Jarak mereka cukup jauh sampai Dean tidak menjangkau penghalang yang menyelimuti Levi.

"Disana membosankan"

"Yah, itu benar"

"Tempat itu sangat indah, bagaimana bisa membosankan?!"

"Kita hanya bisa duduk diam sambil makan"

"Itu tidak benar!"

"Tapi kudengar Mama menyuruh seseorang untuk membuat danau"

"Benarkah?"

"Ya, aku juga mendengarnya. Kuharap itu akan membuat piknik kali ini menyenangkan"

"Pasti menyenangkan"

Sepanjang perjalanan, Dean selalu menanggapi obrolan kedua adiknya itu. Meski tentunya mereka tidak bisa mendengar Dean, namun obrolan tersambung satu sama lain. Seakan-akan keduanya menanggapi ucapan Dean.

Sedangkan di dalam mobil yang dinaiki Levi, senyum ceria Levi tidak pudar sedikitpun selama dua jam perjalanan menuju kampung halaman Sylvia. Dia selalu girang saat melihat sesuatu yang menurutnya cantik ataupun unik.

Dengan ceria dia memberitahukan pada Aaron juga kedua orang tuanya. Sesekali Levi meminta Gerald untuk menurunkan kaca mobil, namun tak diindahkan oleh Gerald karena itu sangat berbahaya.

Levi sedih namun sedetik kemudian tergantikan dengan pemandangan indah yang mereka lewati.














Tbc
See you next chapter 😘

KesayanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang