Are You Okay?

272 52 2
                                    

    Mas Bayu brengsek!
Mas Bayu brengsek!
Mas Bayu brengsek!

Hati gue nggak berhenti menasbihkan kata-kata itu sejak dua hari yang lalu. Berharap kalau rasa sedih, sakit, dan kecewa yang menggerogoti batin gue ini bisa enyah tiada sisa.

Nyokap gue, Sabrina dan Syahri yang merupakan sahabat gue, serta setiap orang yang mendengarkan cerita gue sudah mengatakan bahwa air mata seorang Aulia terlalu berharga untuk laki-laki brengsek seperti Mas Bayu. Namun yang terjadi malah gue menangis di setiap teringat dengan kisah kasih antara gue dan Mas Bayu.

***

Hari Senin kali ini terasa berbeda, Penyebabnya tak lain karena hadirnya sebuah mobil keluaran terbaru yang sudah tentu harganya tidaklah murah. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Bapak Darmantyo Barusman, pemilik PT. Austenito Utama.

Seperti para karyawan yang lain, divisi pelatihan yang dipimpin oleh Shapire juga ramai membicarakannya. Bukan. Bukan membahas mobil berwarna hitam dengan harga yang hampir satu miliar rupiah itu. Melainkan mereka sibuk membahas sang sales yang menurut para kaum hawa berwajah manis dan bertubuh atletis.

“Lo sudah lihat salesnya Pak Darmayanto belum, Ul?” tanya Mega pada Aulia yang baru saja kembali dari pantry. Menyeduh teh hijau kesukaannya.

“Belum, nih, Mbak. Kenapa tuh?” tanya Aulia sembari membuka sebuah file yang akan dia presentasikan di depan kliennya di siang ini.

“Sana lo lihat dulu!” Melihat Aulia menggeleng, Mega mencebik kesal. “Katanya lo suka sama laki yang kulitnya sawo mateng. Nah, si salesnya Pak Darmayanto tuh definisi gula aren hidup.”

“Eh, seriusan lo, Mbak?” Tanpa menunggu Mega menjawab, Aulia langsung keluar, mencari di manakah gula aren hidup itu berada.

Ternyata oh ternyata, Sales yang dicarinya itu sedang berbicang-bincang dengan suami dari Bu Shapire di ruang tamu kantor yang berada di lantai satu.

Tadinya Aulia mau langsung berbalik badan. Namun ternyata dirinya malah dipanggil oleh pria yang telah menikahi atasannya enam bulan yang lalu.

“Lia, Shapire ada di ruangannya?” Sama seperti sang istri, pria berwajah tampan itu memanggil Aulia dengan sapaan Lia.

“Oh, Bu Shapire ada di ruangannya kok, Pak.”

“Baiklah kalau begitu. Saya mau menemui istri saya dulu Mas Bayu.” Usai berpamitan, suami Shapire mengenalkan Aulia dengan pria tersebut.

“Bayu Pradipto,” ucap Bayu sembari mengulurkan tangannya.

Aulia tersenyum manis. “Aulia Adreena,” balasnya lalu menggenggam hangat tangan si gula aren hidup.
Dikarenakan keduanya harus sama-sama melanjutkan pekerjaan, maka perkenalan mereka di pagi hari ini diakhiri dengan adegan saling bertukar kartu nama.

Sesampainya Aulia di kostan sang sahabat, dia mendapati sebuah pesan dari nomor asing. Awalnya dia pikir, ada calon klien yang menghubunginya di luar jam kantor, tapi setelah membaca isinya, kedua sudut bibirnya terangkat ke atas.

“Sabrinaaa! Gue dichat sama Mas Gula Aren!” teriak Aulia pada sang sahabat yang sedang menuangkan seblak pedas yang mereka tadi beli di stasiun.

“Busyet deh, Ul! Kagak usah teriak-teriak bisa, kan? Gue kagak budek!” Bukannya meminta maaf, Aulia justru memfokuskan dirinya pada layar handphone. Dia terlihat begitu cepat membalas pesan yang dikirimkan oleh Bayu.

Melihat hal itu, Sabrina menggeleng-gelengkan kepala. “Mas Gula Aren siapa sih, Ul?” tanyanya yang tentu saja tidak langsung mendapat jawaban. Bagaimana mau menjawab, kalau saat ini Aulia sedang menjawab panggilan suara.

Bersamaan dengan Sabrina yang telah menghabiskan makanan favoritnya, Aulia pun selesai berhahahihi dengan Bayu. “Mas Gula Aren siapa sih, Ul? Tukang gula di Pasar Benhil?”

“Enak saja lo bilang dia tukang gula. Dia tuh sales mobilnya BigBoss gue.”

“Sales mobil?” Aulia mengangguk-anggukkan kepalanya. “Hati-hati lo cuma diprospek buat beli mobilnya, Ul. Atau nggak, kenalan lo kan HRD-HRD kantor tuh. Nah, biasanya sales mobil tuh suka masukin proposal ke bagian itu.”

Meski sudah mendapat nasihat seperti itu, Aulia yang sudah terpincut dengan pesona Gula Aren Hidup, memutuskan untuk tetap membuka hati untuk pria yang terpaut dua tahun lebih tua darinya itu.

Pembukaan hati itu pun menyebabkan banyak pengalaman yang baru pertama kali Aulia alami. Di antaranya, dia merasakan pertama kalinya dijemput seseorang kala pulang kerja. Diajak makan malam terlebih dahulu sebelum sampai di rumah hingga sleep call tiada absen, walaupun Aulia sedang berada di kota lain untuk mengerjakan tugasnya.

Satu bulan melakukan pendekatan, akhirnya Aulia menerima Bayu sebagai pacar pertamanya. Tentu saja ini membuat satu kantor heboh. Bahkan Pak Darmayanto tahu akan berita ini dan meledek keduanya.
“Uang terima kasih untuk saya bisa berupa potongan lima puluh persen dong, ya, Mas Bayu?”

“Haha… haduh, jangan dong, Pak. Nanti uang komisi saya hilang. Lagi nabung buat menghalalkan Aulia, nih, Pak,” begitu jawaban Bayu yang membuat hati Aulia meleleh.

Besar harapan Aulia kalau Bayulah yang menjadi suaminya. Terlebih, Aulia sudah akrab dengan kedua orang tua dan keluarga besar dari pacarnya itu.

“Ibu suka sama Aulia, Bay,” ucap perempuan yang telah melahirkan Bayu.

Setali tiga uang, Ayah Aulia juga mengatakan kalau dia suka dengan sosok Bayu. “Kalau kalian sama-sama cinta, ya, diseriuskan saja hubungannya,” begitulah ucapan yang membuat keduanya mantap untuk membuka rekening bersama.

“Kita nabung untuk biaya pernikahan dan segala sesuatunya di sini, ya,” ucap Bayu yang diangguk Aulia.

***
Lagi dan lagi, gue mengambil tissue, menghampus air mata yang sialannya, terus saja meluncur. Lo bisa musnah saja nggak sih, Mas? Atau kalau lo nggak bisa menghilang dari dunia ini, gue saja yang amnesia, gimana?

“Lia? Are you okay?” Saat gue sedang mati-matian mengelap air mata dan bermonolog di dalam hati, suara Bu Shapire terdengar.

“Saya… saya boleh minta ditugaskan ke Aceh nggak, Bu?” Secara spontan gue mengajukan pertanyaan yang membuat dahi Bu Shapire mengerut dalam.

“Kamu kenapa, Lia? Wanna share?” Awalnya gue menolak, tapi perempuan cerdas itu malah memangajak gue ke ruangannya. 

“Anggap saja saya ini kakak kamu dan ceritakanlah, Lia. Kamu sedang ada masalah apa?”

Gue sangat sadar kalau membawa masalah pribadi ke kantor adalah bentuk ketidak profesionalan. Apalagi sampai mencurahkan isi hati ini pada atasan. Namun, sejujurnya, gue juga tidak mampu menghentikan rasa sakit ini.

“Lia, divisi ini sudah kamu anggap seperti keluarga kedua, bukan?” Gue menganggukkan kepala. “Dan kamu percaya pada saya, kan?” Sekali lagi gue mengangguk. “Jadi, apa yang membuat kamu ragu untuk menceritakan masalahmu pada saya?”

“Sa-saya…” Setelah sekian detik menimbang, akhirnya gue menceritakan kejadian pemergorkan yang disusul dengan kabar kalau Ibunya Mas Bayu terkena serangan jantung dan sekarang masih berada di rumah sakit.  Bisakah gue kembali tertawa seperti sebelum mengenal Mas Bayu Brengsek?

Hai, Rurs Geng!
Selamat membaca dan ramaikan lapak ini!
InsyaAllah, cerita ini up setiap hari sampai selesai!
.
.
Kak Rurs with💎

Speed Dating (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang