Jika ada yang berpikir bahwa gue akan leha-leha setelah sukses bertugas di Aceh, maka itu salah besar! Buktinya, baru sehari gue masuk ke kantor, bahkan oleh-oleh yang gue bawa belum habis dimakan, sebuah amanah kembali menghampiri pundak gue. Kali ini bertempat di Subang. Di sebuah perusahaan fabrikasi Girder Box.
“Kalau kamu masih lelah, saya bisa tugaskan yang lain, kok, Lia,” ucap Bu Shapire yang membuat gue terharu dengan perhatian dan pengertiannya. Di mana lagi gue menemukan atasan seperti beliau, sih?
“Saya nggak lelah sama sekali kok, Bu,” tanggap gue dengan senyum lebar. Memang sangat dadakan, tapi kalau hal itu menghasilkan cuan dan membuat gue enyah dari ibu kota, apakah bisa gue tolak?
“Kamu yakin?” Sembari mengangguk dengan cepat dan mantap, di dalam otak gue pun mulai sibuk mengitung banyaknya pundi-pundi yang akan terkumpul. Tahun depan ambil KPR kali, ya?
“Oke, kalau begitu, saya akan buatkan SPK untuk kamu, ya.”
Usai berkata demikian, Bu Shapire memberikan arahan atas tugas gue yang kali ini. Meskipun durasinya hanya dua pekan, tapi di pelatihan kali ini meminta pelatihan dengan porsi sesi teori yang lebih banyak dari sesi praktiknya.
“Ini untuk welder, kan, ya, Bu?” tanya gue memastikan.
“Pasti kamu heran dengan permintaan mereka soal sesi teori, ya?”
“Iya, Bu.”
Bu Shapire kemudian menjelaskan bahwa menurut Pak Khusnul—Direktur HRD mereka—kemampuan yang tidak dilengkapi dengan ilmu pengetahuan yang mumpuni, maka hasilnya adalah kenihilan. “…kata beliau lagi, pengalaman dan praktik setiap saat tidak serta merta menjadikan seseorang memiliki guru terbaik dan membuat sesuatu menjadi sempurna. Harus ada ilmu pengetahuan yang mumpuni agar apa yang dikerjakan mencapai target kualitas dan kuantitasnya.”
Gue manggut-manggut tanda setuju. Sungguh gue senang dengan pemikiran Pak Khusnul. Bukan. Bukan karena kantor gue yang jadi dapat orderan pelatihan. Melainkan jika semua HRD seperti beliau, maka tidak ada lagi istilah kompetensi seseorang dikalahkan the power of ordal—orang dalam—.
“Lo mau ditugasin ke mana lagi, Ul?” tanya Mbak Mega begitu gue mendaratkan pantat di kursi kesayangan.
“Subang, nih, Mbak.”
“Wiiih, gue salut deh sama lo, Ul. Setelah diselingkuhin, lo nggak nangis-nangis bergalau ria, tapi malah memilih untuk gila kerja. Setidaknya dengan begitu, yang deras bukan lagi air mata, tapi uang bonus.”
“Hahaha iya, dong, Mbak. Jangan lupa, motto divisi kita.”
“Hidup cuan!” Bukan hanya gue, tapi Mas Dayat, Mbak Mega juga ikut berseru bersamaan dengan keluarnya Bu Shapire.
“Hidup cuan!” tanggap Bu Shapire yang membuat kami semua tertawa.
Sesaat sebelum Bu Shapire membuka pintu, “Oh, iya, Bu Shapire. Tadi saya ketemu sama Pak Ferry. Beliau titip salam untuk Ibu dan kita semua.” Mas Dayat bersuara.
“Kamu ketemu beliau di mana?” Terlihat raut muka Bu Shapire berubah. Dari yang tadi cerah-ceria, menjadi mendung yang tak berarti hujan.
“Di kantor LSP-LAS, Bu.” Bu Shapire terlihat mengangguk-anggukkan kepala.
“Sampaikan salam dari saya untuknya, ya,” ucap Bu Shapire lalu berlalu dengan langkah cepat.
“Yat, lo geblek banget dah jadi orang.” Mbak Mega kembali bersuara dengan volume maksimal.
“Lah, kenapa gue dikatain geblek, dah?” Mas Dayat terlihat tak terima.
“Ya, lo mikir dong. Masa iya, nyampein salam dari Pak Ferry.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Speed Dating (On Going)
ChickLitSpeed Dating "Just Swipe and Love" Setelah diselingkuhi, Aulia memilih untuk fokus membangun karir hingga tanpa sadar, sudah tiga tahun dia menjomblo. Di suatu sore, Akbar yang merupakan adik Aulia, mengatakan kalau dia akan melamar sang kekasih. N...