Bahagia Tanpa Saling Ganggu

206 51 3
                                    

Akhir pekan kembali menghampiri gue. Kalau biasanya gue sibuk beberes rumah dan masak di dapur, kali ini gue tengah repot mengeluarkan semua hal yang pernah dikasih Mas Bayu. Ada boneka monyet membawa pisang, bantal berbentuk kepala bebek, lampu tidur berbentuk hati, empat album foto, selimut yang terbordir nama kami, dan masih banyak lagi. Kalau sudah putus, semua hal yang dulunya unyu-unyu jadi menjijikan, ya?

“Loh, kok semuanya dikeluarkan begini, Nak?” tanya Ibu dengan wajah bingungnya.

“Aulia mau kembalikan semuanya ke Mas Bayu, Bu.” Gue menceritakan keributan yang telah diciptakannya di kantor.

“Ngomong-ngomong, Mbak masih manggil laki jahat itu dengan sapaan Mas?” Kali ini, Akbar, adikku satu-satunya yang bertanya. Dari aroma dan tampilannya, adikku itu baru saja selesai mandi. Tumben dia mandi sepagi ini….

Gue menelan ludah dengan kasar. “Iyaa… kalau seandainya di dunia ini nggak ada sopan santun, Mbak juga manggil dia dengan sapaan iblis kok.”

“Mbak masih mikirin sopan santun di saat dia saja nggak punya moral? Are you kidding us?” Susahnya berdebat dengan calon pengacara yang satu ini.

Dear Akbar kesayangan Mbak, daripada kamu ngajak Mbak adu mulut, mendingan bantuin Mbak ngemas-ngemas, yuk.” Sebenarnya gue bisa saja berdebat dengannya, tapi berhubung ada banyak barang yang harus gue urus, maka lebih baik meminta energinya untuk membantu gue.

“Oke, sini Akbar bantu. Mulai dari mana?”

“Hmm…kamu tahu heels Mbak yang warnanya putih, nggak?”

“Emang itu sepatu dari dia juga, Mbak?” Gue menganggukkan kepala. “Ternyata si brengsek itu ngeluarin banyak modal juga, ya, selama pacaran sama Mbak. Coba deh, Akbar bantu cariin di belakang.”

Sambil tetap mencari di mana letak heels kesayangan gue itu, tiba-tiba hati gue terasa seperti dicubit. Perkataan-perkataan Mas Bayu saat memberikan semua hadiah ini terngiang di kuping gue.

Alhamdulillah, customer yang kemarin jadi beli mobil sama aku. Jadi uang komisiku cair. Semoga kamu suka, ya.”

Kala itu, yang gue lihat dari sorot kedua matanya adalah cinta kasih yang tulus. Mas Bayu sering banget minder dengan penghasilannya yang memang berada di bawah gue. Namun, tanpa ragu gue meyakinkan bahwa gue tidak pernah mempermasalahkan itu. Gue mencintai Mas Bayu bukan dari apa yang dia miliki. Namun, dari apa yang dia lakukan untuk membahagiakan gue.

Selama satu setengah tahun berpacaran, gue tahu kalau Mas Bayu sering membawa bekal dari rumah. Katanya, uang makan siangnya dikumpul saja untuk jalan-jalan sama gue di akhir pekan. Jadi, kenapa semua kebaikan hatimu ini harus rusak karena setitik nafsu yang tidak bisa kamu kontrol, Mas?

Tanpa bisa ditahan, air mata gue kembali menetes. Sambil memeluk Belu, boneka beruang berwarna biru yang gue dapatkan setelah bermain mesin capit. Momen mendapatkan Belu ini juga manis sekaligus miris untuk dikenang. Saat itu, gue baru pulang dari tugas di Batam.  Berhubung sudah dua pekan kami tidak bertemu, maka kami pun memutuskan untuk jalan-jalan ke sebuah mall yang terletak tak jauh dari rumah gue.

Saat itu, gue melihat mesin capit dan menantang Mas Bayu untuk mendapatkan sebuah boneka. Pria itu mengiakannya dengan penuh semangat. Walaupun sudah gagal berkali-kali dia tidak menyerah. Di percobaan yang entah ke berapa kalinya, boneka Belu inilah yang didapatkannya.

“Mbak Aulia?” Panggilan Akbar tidak gue tanggapi lantaran gue sedang khusuk menangis. Sungguh, gue ingin ini adalah air mata terakhir yang gue keluarkan karena teringat dengan Mas Bayu.

Di saat bahu gue mulai bergetar, rengkuhan hangat milik Ibu melingkupi tubuh Ibu. “Diikhlaskan ya, Nak. Diikhlaskan. Jangan lupa bahwa Allah itu menghancurkan rencanamu hari ini, agar rencanamu itu tidak menghancurkan kamu di masa depan.”

Speed Dating (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang