Good Bye Jakarta!

211 53 8
                                    

Gue pikir setelah kemarin bercerita tentang kebrengsekan Mas Bayu pada Bu Shapire, maka gue nggak akan menangisi apa pun yang menyangkut pria itu. Namun nyatanya, air mata gue langsung meluncur tatkala mendapatkan kabar kalau Ibunya Mas Bayu meninggal dunia. Siapa coba yang menyangka kalau tindakan impulsif nan emosional yang telah gue lakukan itu menghilangkan nyawa seorang bidadari tanpa sayap seperti ibunya Mas Bayu?

Merasa bersalah? Oh, tentu saja! Apalagi Ibunya Mas Bayu mendapat serangan jantung tepat setelah melihat video yang gue kirimkan padanya, kan?

“Kalau tuh video hah-huh-hah-huh lo sebar di internet, lo pasti dipenjara, loh, Ul!” ucap Sabrina saat gue meminta dia untuk mengantar gue ke rumah duka. 

“Duh, lo jangan ngomong yang aneh-aneh, deh, Sab. Pokoknya, please banget nih… please banget, gue butuh lo temenin ke rumahnya Mas Bayu.”

“Ngapain lo ke sana? Yang ada, lo ketemu si brengsek dan lo kena cap pembunuh sama satu keluarga besarnya, Aulia.”

Kali ini gue diam. Berpikir segala kemungkinan yang terjadi saat gue datang melayat. Pertama, gue pasti ketemu Mas Bayu. Lalu yang kedua, mungkin saja, bukannya meminta maaf seperti yang sudah dilakukan selama tiga hari belakangan ini, dia malah menuduh-nuduh gue sebagai pembunuh.

“Jadi, menurut lo gue nggak usah datang ke sana?” Sabrina mengacungkan jempolnya. “Terus kalau keluarga mereka nanyain gue ke mana, gimana?”

“Kenapa lo harus mengkhawatirkan pemikiran mereka di saat mereka nggak ada yang peduli dengan perasaan lo?”

Pertanyaan balik yang dilontarkan Sabrina membuat gue semakin berpikir. “Tapi.. perbuatan gue sudah membuat Ibunya meninggal, loh, Sab.”

“Memangnya perbuatannya Si Brengsek itu nggak berpotensi membuat lo putus asa lalu bunuh diri?” Belum juga gue mengeluarkan suara, “Apa pun reaksi setelah lo beraksi itu bukan tanggung jawab lo, Ul. Well, Ibunya memang meninggal, tapi hal itu kan terjadi tanpa niatan dari lo.” Menurut Sabrina, gue hanya boleh merasa bersalah jika gue memang berniat untuk menghilangkan nyawa sang ibu melalui video asusila itu.

Hati gue pun gamang. Sisi kemanusiaan menuntut gue untuk datang ke sana. Namun, kepala gue penuh dengan segala bayangan atas kejadian buruk yang mungkin akan gue alami.

Sesampainya di rumah dan bersih-bersih, gue langsung menuju ruang menonton, tempat Ibu berada. “Bu, Aulia harus datang ke rumahnya Mas Bayu nggak, ya?”

Ibu yang sedang menjahit pakaian, mengalihkan pandangannya. “Sepertinya kedatangan Ibu dan Ayah tadi sore sudah cukup mewakili kedatangan kamu.” Dari nada suaranya, gue yakin ada yang nggak beres nih. Dan benar saja, usai mengucapkan hal tersebut, Ibu menceritakan apa yang telah terjadi.

“Kami bertemu dengan Bayu dan juga Bapaknya. Mereka mengatakan hal-hal yang tidak pantas untuk didengar siapa pun.” Kedua mata Ibu terlihat berkaca-kaca. Apa? Apa yang berani mereka katakan kepada kedua orang tua gue?

“Padahal yang seharusnya menghajar Bayu adalah Ayahmu, tapi mereka terlebih dahulu menjadikan kematian Bu Farida sebagai senjata untuk menyerang mental kita.” Ibu menatap gue dalam. “Jangan pernah berpikir bahwa kamu telah membunuh perempuan itu. Dia meninggal karena kelakuan biadab anaknya. Bukan karena kamu.”

Gue berusaha untuk membuat Ibu menceritakan apa yang telah mereka katakan. Sayangnya, hasilnya nihil. Malahan, sebelum kembali menjahit, Ibu membeberkan sebuah berita yang membuat gue kaget bukan main. “Pekan depan Bayu akan menikah dengan Nindya. Karena perempuan itu sudah hamil tiga bulan.”

Tiga bulan? Hamil tiga bulan? Jadi apa yang gue lihat itu bukan permainan pertama mereka? Oke! Besok gue harus mengurus tabungan bersama kami. Gue nggak mau harta yang gue timbun selama ini dipakai oleh mereka!

***

Sebuah pesan yang harus banget gue sampaikan kepada semua perempuan di muka bumi ini. Secinta-cintanya kamu sama pacar, jangan pernah kasih apa pun yang berharga. Baik uang, keperawanan, apalagi ginjal. Soalnya kalau bubar, yang rugi bandar adalah pihak perempuan.

Pagi ini, gue baru saja selesai mengurus rekening bersama yang untungnya masih bisa gue selamatkan. Jumlahnya lumayan. Bahkan kalau gue mau angkat kredit rumah, mungkin uang gue ini bisa digunakan sebagai DP.

Di sepanjang perjalanan pulang dari Bank menuju kantor, gue membulatkan tekad untuk mengambil proyek training yang akan dilakukan selama sebulan. Kali ini klien kami adalah perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Gue butuh udara yang tidak dihirup oleh si pengkhianat itu serta butuh menatap langit yang tidak menaunginya. Meski gue nggak tahu bagaimana nasib percintaan gue kedepannya, tapi gue yakin kehidupan gue tidak selesai sampai di sini. Kalau kata penulis favorit Bu Shapire, apa pun itu dan bagaimana pun rasanya di hati, ketetapan Allah adalah yang terbaik.

Ini ketetapan Allah yang harus gue syukuri. Gue tidak jadi menikah dengan pria yang tidak puas dengan satu perempuan. Jelas, ini bukan tentang gue yang kurang ini itu, tapi semua ini terjadi karena dia memang tidak bisa menjaga diri dari nafsunya.

Setibanya di kantor, gue langsung ke ruangannya Bu Shapire. Ternyata ada Pak Robby di ruangannya. Sepertinya, mereka sedang membahas rencana perayaan ulang tahun pernikahan Bu Shapire dan suaminya. Semoga di suatu hari nanti, aku bisa menemukan belahan jiwa seperti Bu Shapire. Tidak perlu seorang executive muda  berpajero putih. Tidak usah pula sang pujangga dari negeri seberang. Gue cukup dengan pria yang mampu mengajak gue menuju SurgaNya.

“Kamu yakin mau ambil proyek pelatihan di Aceh ini, Aulia?” Gue mengangguk dengan mantap. “Kamu nggak sedang mencoba untuk melarikan diri dari kenyataan, kan?”

“Bagi saya, komisi dari proyek ini lebih menggiurkan kok, Bu.” Bu Shapire tertawa terbahak-bahak.
“Bagus, Aulia! Bagus! Waktu saya seusia kamu, di kepala ini juga isinya uang-uang-uang. Hahahaha”

Kami tertawa bersama sampai pada akhirnya Bu Shapire mengiakan ajuan gue. Dengan pertimbangan Mas Yusuf tidak mungkin mengambil pekerjaan yang harus meninggalkan rumah selama itu.

“Terima kasih, Bu Shapire,” ucap gue sebelum keluar dari ruangannya.

Well, Aulia! Say goodbye to Jakarta now!

Hai, Rurs Geng!
Selamat membaca dan ramaikan lapak ini!
.
.
Kak Rurs with💎

Speed Dating (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang