Kalimat Gila Aulia

194 54 2
                                    

Usai mengisi perut dengan sayur lodeh, balado telur dan rempeyek kacang buatan Ibu, akbar yang biasanya akan langsung ke kamar atau menonton TV bersama Ayah, kini mengatakan bahwa ada hal serius yang ingin dibicarakan dengan gue. Tentu saja gue mengiakannya, walaupun dengan benak yang dipenuhi dengan beraneka terkaan. Ada apa ya? Apa, jangan-jangan Akbar terkena PHK? Atau dia terlilit pinjol? Atau... jangan-jangan dia diselingkuhi oleh pacarnya yang bernama Mimi, itu?

"Jadi, begini, Mbak..." Akbar pun mulai bermukadimah saat kami sama-sama sudah berada di teras depan rumah. Untung saja, sebelum keluar, aku sudah menggunakan lotion anti nyamuk. Karena kalau tidak, pasti gue akan lebih fokus menepuk nyamuk dibanding mendengar penjelasan Akbar.

"Hmm... Sebelumnya, Akbar minta maaf kalau nantinya pembicaraan ini akan menyinggung perasaan Mbak." Dahi gue mendadak mengerut.

"Memangnya kamu mau ngomongin apa, sih, Bar?" tanya gue yang semakin nggak sabar karena masih belum bisa menebak ke mana arah pembicaraan anak berusia 24 ini.

Bukannya segera mengeluarkan suara, Akbar malah tampak semakin gelisah. Tarikan dan embusan napasnya mengisyaratkan sebuah beban yang begitu berat. Sepertinya ada sebuah keraguan besar yang menahannya berkata-kata. "Mbak janji nggak akan marah, kok," ucap gue yang membuat Akbar memejamkan matanya sebelum pada akhirnya bersuara.

"Akbar berencana untuk melamar Mimi di akhir tahun ini, Mbak."

Tentu saja gue senang mendengarnya! Gue pun manggut-manggut. "Niat yang bagus," tanggap gue spontan. "Terus, apa yang membuat kamu berpikir hal itu akan membuat Mbak tersinggung?" Akbar tampak gusar lagi. Oh, jangan-jangan Akbar...

"Kamu pinjam uang sama Mbak?" tebak gue yang langsung digeleng olehnya. "Terus, apa, Bar?"

"Kata Budhe Sastro, kalau Akbar mau menikah, ya, nggak boleh ngelangkahin, Mbak. Soalnya kalau itu terjadi, katanya Mbak akan sulit dapat jodoh seumur hidup." Alih-alih tersinggung, gue malah tertawa terbahak-bahak!

"Kamu masih percaya begitu-begitu di zaman semodern ini?" Akbar dengan tegas mengangguk.

"Soalnya sudah ada bukti nyata, Mbak." Akbar mengingatkan gue bahwa setelah Ibu melangkahi Budhe Sastro, beliau nggak nikah sampai sekarang. Ya, Budhe Sastro adalah kakak ibu yang memilih melajang hingga berusia kepala 6.

"Itu kebetulan, Bar." Akbar pun kekeh menolak pendapat gue.

"Kakak dari Papinya Mimi juga begitu, Mbak. Katanya, karena dilangkahi, jadi tidak menikah sampai sekarang."

"Bagaimana kalau kita jodohkan saja Budhe Sastro dengan Kakak dari Papinya Mimi?" ujarku dengan penuh semangat.

Akbar menghela napasnya. "Itu ide bagus, tapi untuk saat ini yang paling penting adalah mewujudkan impian Mimi, Mbak." Akbar menjelaskan bahwa Mimi ingin menikah di tahun depan. Sehingga, setidaknya, di tahun ini dirinya dilamar terlebih dahulu.

"Kamu sudah yakin akan menikah dengan Mimi?" Bukan tanpa alasan gue bertanya seperti ini. Dulu, gue juga ingin menikah di usia 25 tahun. Namun, perjalanan hidup mengajarkan gue, bahwa sebaik-baiknya kita berencana, satu-satunya yang bisa menetapkan kapan waktu yang tepat hanyalah Sang Pencipta.

"Sudah, Mbak. Makanya, Akbar mau memastikan kalau niat baik ini tidak menjadi malapetaka untuk Mbak di kemudian harinya."

"Bar, sejujurnya, Mbak juga takut kalau sendirian hingga tua nanti. Namun, untuk saat ini, Mbak masih mau menikmati hidup tanpa adanya pasangan." Akbar menatap gue dengan raut wajah yang terlihat sedih.

"Mbak belum bisa move on dari dia, ya?" Ah, pertanyaan itu lagi. Bagaimana, ya, aku menjawabnya? Kalau dikatakan masih mencintai dan menyayangkan semua kenangan manis di masa lalu dengan dia, nyatanya, sampai detik ini gue membencinya dan mungkin masih akan begitu sampai liang lahat. Lalu, kalau ditanya kenapa belum punya pacar lagi? Gue... gue sangat menikmati masa-masa kesendirian ini. Banyak hal yang bisa gue lakukan. Menimbun harta benda sudah pasti, berkuda, ambil cooking and baking class, dan... masih banyak lagi.

"Kenapa kamu bisa berpikiran begitu?" Ada yang bilang, kalau kita tidak bisa menjawab pertanyaan, maka lebih baik bertanya balik.

"Apa karena sampai sekarang Mbak masih sendiriaan?" Akbar menganggukkan kepalanya.

"Ngejomblo, kan, bukan tandanya Mbak belum move on dari dia, Bar." Iyakah demikian?  Tiba-tiba gue meragukan kata-kata gue sendiri.

"Mbak sengaja menutup hati rapat-rapat, kan?"

"Ah, nggak juga." Nah, kan, gue kembali meragukan apa yang keluar dari mulut ini.

"Kalau nggak nutup hati, masa sih, Mbak, selama tiga tahun ini nggak ada yang menarik perhatian, Mbak?" Akbar semakin mencecar gue.

"Nyatanya memang begitu, Bar." Gue membuang pandangan ke langit malam yang tak menampakkan bintang. "Dari sekian banyak orang yang Mbak temuin, memang belum ada yang membuat Mbak deg-deg-an. Mungkin itu kemarin hingga hari ini, tapi nggak tahu besok."

Gue kembali menatap Akbar. "Bar, kalau memang kamu punya niat untuk melamar Mimi, lakukanlah. Mbak dukung penuh. Bahkan kalau kamu butuh bantuan finansial, bilang saja. Mbak nggak akan keberatan untuk membantu. Jangan pernah menjadikan keadaan Mbakmu ini sebagai penghalang. Mungkin mitos itu benar-benar terjadi pada orang lain, tapi Mbakmu ini masih percaya dengan kuasa Tuhan." Gara-gara melihat wajah Akbar yang masih terlihat bimbang, sebuah kalimat gila pun keluar dari mulut gue.

"Kamu kan mau melamar Mimi di akhir tahun ini. Tenang, saja. Bar, pas kamu lamaran, Mbak sudah punya pacar. Ya, siapa tahu, tahun depan kita bisa nikah barengan!" Kegusaran Akbar seketika pindah ke gue! Oh, ya, Tuhan... siapa pula laki-laki yang mau jadi pacar gue sekarang dan mengajak gue menikah di tahun depan? Pakai jalur apa pula ini gue mencarinya? Haah... nyatanya mencari pacar lebih susah dari pada cari uang buat beli mobil brio secara cash, ya?

Hai Rurs Geng!
Selamat membaca lanjutan kisah Mbak Aulia!
So sorry, baru update karena kemarin seharian nugas di luar kota haha
Happy long weekend yaa!
.
.
.
Kak Rurs with💎

Speed Dating (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang