Tugas ke Aceh dan Nasihat Mbak Rur

198 43 9
                                    

Waktu akan bergerak relatif cepat saat kita sibuk. Perkataan itu terbukti pada gue yang akhir-akhir ini fokus mempersiapkan semua keperluan pelatihan di Aceh. Mulai dari menyusun silabus dan module, mencari pengajar, memastikan material dan alat yang akan dipakai untuk sesi praktik hingga segala hal yang berkaitan dengan administrasi.

Awalnya gue mengkhawatirkan siapa gerangan yang mau mengajar di pabrik yang letaknya benar-benar di tengah perkebunan kelapa sawit selama satu bulan. Namun, sejak Bu Shapire mengenalkan gue pada senior di kampusnya yang bernama Bu Rursiana atau yang akrab dipanggil Mbak Rur, tenanglah hati gue.

Saat pertama kali melihat, gue sempat berpikir kalau Mbak Rur lebih cocok berprofesi sebagai model. Selain memiliki tubuh yang tinggi menjulang, paras wajahnya juga menarik dan tidak membosankan. Namun, begitu perempuan berusia 38 tahun itu mengeluarkan kata-kata, barulah aura woman engineer-nya menguar dengan sangat kuat. Dengan gaya bicaranya yang lugas dan tegas, terbayanglah bagaimana isi dan cara otaknya bekerja.

Berdasarkan cerita Bu Shapire, saat Mbak Rur lulus kuliah, dia langsung diterima di sebuah perusahaan bidang oil and gas yang bermarkas di Qatar. Yang mengagumkan, dengan sejumlah prestasinya di proyek-proyek internasional, Mbak Rur sama sekali tidak menunjukan kesombongannya. Tutur katanya juga penuh dengan sopan santun dan sangat memanusiakan manusia. Kata tolong, terima kasih dan maaf tidak pernah absen diucapkan. 

Sembari menunggu jadwal boarding, gue mengingat semua itu hingga Mbak Rur memanggil gue dan bertanya, “Kamu nggak apa-apa ninggalin keluarga selama sebulan begini?”

“Nggak apa-apa kok, Mbak.” Mbak Rur tampak manggut-manggut dengan bibir yang menyunggingkan senyum.

“Kalau misalkan kamu kerja di luar negeri untuk waktu yang lama, mereka ngizinin juga, nggak?”

Kali ini gue berpikir sejenak. “Mungkin diizinin, tapi sejauh ini, saya nggak pernah kepikiran untuk kerja di luar negeri, Mbak.”

“Kenapa nggak pernah kepikiran? Menurut aku, kamu punya potensi, loh.”

“Hmmm…  sejujurnya sejak lulus kuliah, saya merencanakan untuk kerja selama satu sampai tiga tahun saja lalu menikah dan jadi full IRT, Mbak.”

Gue pikir Mbak Rur akan mendebat rencana hidup gue, tapi ternyata dia kagum dengan rencana gue. “Aku bahkan nggak pernah berani untuk menjadi full IRT, loh, Li,” ungkapnya.

“Wah, kenapa nggak berani, Mbak?”

“Karena buat aku, pekerjaan paling berat sekaligus paling mulia tuh, ya, menjadi full ibu rumah tangga. Kalau pekerjaan jadi welding engineer aja, tanggung jawabnya paling sama atasan di kantor dan owner yang kasih proyek. Coba kalau menjadi seorang ibu yang full mengurus suami dan anak berserta semua hal yang ada di rumah. Tanggung-jawabnya kan dunia akhirat.” Dalam pandangan Mbak Rur, perempuan yang rela melepas pekerjaan tetapnya demi keluarga adalah sosok yang luar biasa hebatnya.

“Sayangnya, makin ke sini, makin banyak pria yang tidak bersyukur. Bukannya merawat istri yang telah bersedia mengabdikan dirinya untuk keluarga, malah jajan sembarangan di luar untuk kenikmatan sesaat.”

Benak gue mendadak penuh dengan sosok Mas Bayu. Untung saja kami sudah putus. Kalau tidak, pasti hubungan kami berlanjut sampai ke pernikahan dan begitu gue menjadi full IRT, mengabdi pada suami dan keluarga dengan sepenuh jiwa, gue malah mendapati Mas Bayu asyik celap-celup dengan perempuan tuna susila.

“Mbak ada salah ngomong, ya, Li?” Lamunan gue buyar tatkala Mbak Rur bertanya sambil menyentuh lengan gue.

“Eh, nggak kok, Mbak. Saya cuma lagi keingetan sama mantan yang nyelingkuhin saya.” Padahal kami baru bertemu tiga kali, tapi Mbak Rur sudah berhasil membuat gue percaya hingga berani menceritakan apa yang telah menimpa gue.

Speed Dating (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang